Indonesia
dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam suku, agama, ras, dan
bahasa serta budaya. Kekayaan budaya ini tidak terlepas dari faktor sejarah
bangsa Indonesia dari masa ke masa. Indonesia pernah mengalami berbagai macam
zaman, seperti Hindu-Buddha, Islam, zaman penjajahan, kemerdekaan, sampai masa
reformasi sekarang ini. Setiap zaman membawa pengaruh tersendiri bagi
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan di Nusantara.
Perkembangan
Islam di Nusantara dari masa ke masa juga menambah khazanah dan kekayaan
budaya. Para mubaligh dan penyebar Islam telah berhasil menanamkan akidah
Islamiyah di Nusantara. Hal ini sekaligus memunculkan dan menumbuhkan
kebudayaan baru. Baik itu budaya sebagai hasil pembauran dengan budaya sebelum
Islam, maupun budaya yang lahir karena adanya nilai-nilai Islam.
Tradisi
Islam di Nusantara ini muncul sebagai akibat ajaran agama yang dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam akan merasuk ke dalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat sampai menjadi tradisi dan tata cara hidup. Sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Nusantara telah memeluk agama Hindu-Buddha
sehingga penduduk Nusantara telah memiliki budaya, tata cara hidup dan adat
yang mengakar kuat. Tumbuhnya Islam menyebabkan adanya akulturasi budaya.
Kekayaan
budaya ini harus dilestarikan supaya generasi mendatang juga dapat
merasakannya. Sikap positif dalam memandang kekayaan budaya ini perlu
dikembangkan. Kekayaan tradisi dan budaya dipandang sebagai warisan leluhur
sekaligus merupakan titipan dari generasi mendatang.
Upaya
pelestarian budaya ini dapat dilakukan dengan selalu menjaganya dari pengaruh
negatif budaya luar. Kita harus menyaring budaya yang bertentangan dengan
nilai-nilai kepribadian bangsa dan Islam. Adapun tradisi dan budaya yang sesuai
dengan kepribadian bangsa dan nilai-nilai Islam dapat diterima dan
dikembangkan.
Tiap-tiap
daerah atau provinsi di Indonesia memiliki tradisi dan budaya yang khas.
Tradisi dan budaya pada setiap daerah tersebut perlu diperkenalkan ke dunia
luar sebagai kekayaan budaya bangsa. Hal ini juga dimaksudkan sebagai upaya
melestarikan dan mengembangkan tradisi dan budaya yang telah ada.
Mutiara Khasanah Islam
1. Tradisi Nusantara sebelum Islam
Jauh
sebelum Islam masuk dan berkembang di Nusantara, masyarakat telah memiliki
keragaman budaya dan tradisi. Bahkan, sebelum agama Hindu-Buddha masuk ke
Indonesia, masyarakat telah memiliki kepercayaan kepada benda-benda alam dan
ruh nenek moyang. Kepercayaan kepada benda-benda alam dan ruh nenek moyang ini berpengaruh
pada pola kehidupan masyarakat. Banyak upacara ritual dilakukan sebelum
melakukan kegiatan tertentu. Misalnya ritual sebelum melaksanakan hajatan,
kelahiran, perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Tradisi ini mereka lakukan
turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka patuh
menjalankan tradisi tersebut karena beranggapan jika terjadi pelanggaran, akanmendapat
kutukan dari arwah nenek moyang yang akibatnya akan mendatangkan bencana di tengah-tengah
masyarakat.
Masuknya
agama Hindu-Buddha ke Indonesia tidak menyebabkan tradisi-tradisi ter-sebut
musnah, justru makin tumbuh dan berkembang. Hal ini dikarenakan pengaruh agama
Hindu-Buddha menyesuaikan dengan tradisi-tradisi di masyarakat. Bentuk
penyesuaiannya adalah dengan mengubah cara-cara upacara ritual sehingga sesuai
dengan nilainilai ajaran Hindu-Buddha.
Masuknya
kebudayaan Hindu-Buddha dari India ke Nusantara melalui proses penyesuaian
dengan kondisi kehidupan masyarakat. Tentu saja penyesuaian ini tanpa
menghilangkan unsur asli budaya di Nusantara. Di antara pengaruh kebudayaan
Hindu-Buddha dalam kebudayaan Indonesia, misalnya tampak pada seni rupa dan
seni ukir. Seni rupa dan seni ukir ini terlihat pada relief dinding-dinding
candi. Sebagai contoh, pada relief Candi Borobudur tampak adanya perahu
bercadik yang merupakan gambaran pelaut nenek moyang bangsa Indonesia. Terdapat
pula relief yang menggambarkan riwayat sang Buddha sekaligus ada gambaran
lingkungan alam Indonesia.
Pengaruh
kebudayaan Hindu-Buddha juga tampak pada bidang seni bangunan, misalnya pada
bentuk bangunan candi. Di India, candi merupakan kuil untuk memuja para dewa
dengan bentuk stupa. Di Indonesia, candi selain sebagai tempat pemujaan, juga
berfungsi sebagai makam raja atau untuk tempat menyimpan abu jenazah raja yang
telah meninggal. Candi sebagai tanda penghormatan masyarakat terhadap sang
raja.
Di
atas makam sang raja, biasanya didirikan patung raja yang mirip dengan dewa
yang dipujanya. Hal ini sebagai perpaduan antara fungsi candi di India dan
tradisi pemakaman dan pemujaan ruh nenek moyang di Indonesia. Akibatnya, bentuk
bangunan candi di Indonesia pada umumnya adalah punden berundak, yaitu bangunan
tempat pemujaan ruh nenek moyang. Contoh ini dapat dilihat pada bangunan Candi Borobudur.
2.
Akulturasi Budaya Islam
Akulturasi
merupakan proses percampuran antara unsur kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain sehingga terbentuk kebudayaan yang baru tanpa
menghilangkan sama sekali ciri khas masing-masing kebudayaan lama. Kedatangan
ajaran Islam di Nusantara juga mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan
Nusantara saat itu.
Bentuk
budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut tidak hanya bersifat
kebendaan atau material, tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Budaya ini kemudian dikenal dengan istilah budaya Islam. Budaya Islam adalah
segala macam bentuk cipta, rasa, dan karsa yang berasal dan berkembang dalam
masyarakat serta telah mendapat pengaruh dari Islam. Budaya dalam pandangan
Islam adalah sebuah tata nilai dan tradisi yang berkembang dari ajaran Islam.
Tata nilai tersebut merupakan hasil penerjemahan dari pokok-pokok ajaran al-Qur’ān dan hadis dalam kehidupan nyata.
Tradisi Islam adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun temurun
oleh masyarakat, dan di dalamnya mengandung ajaran-ajaran Islam.
Islam
sesungguhnya membuka diri terhadap budaya-budaya dari luar Islam. Islam
mempersilakan siapa pun untuk berpendapat, mengemukakan ide dan gagasan, ataupun
menciptakan budayabudaya tertentu, asalkan sesuai prinsip-prinsip sebagai
berikut.
a.
Tidak melanggar ketentuan hukum halal-haram.
b.
Mendatangkan mashlahat (kebaikan) dan tidak menimbulkan
mafsadat
(kerusakan).
c.
Sesuai dengan prinsip al-Wala` (kecintaan yang
hanya kepada Allah Swt. dan apa saja yang dicintai Allah Swt.) dan al-Bara`
(berlepas diri dan membenci dari apa saja yang dibenci oleh
Allah Swt.).
Ketiga
prinsip di atas menjadi pedoman baku bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan
budaya-budaya lain di luar Islam. Berlandaskan ketiga prinsip tersebut, akan
lahir sebuah kebudayaan Islam yang memiliki ciri khusus, yaitu budaya yang
berasaskan tauhid kepada Allah Swt. Kita dipersilakan untuk berinteraksi maupun
mengambil manfaat dari budaya bangsa-bangsa lain, selama ketiga prinsip di atas
tidak dilanggar.
Kesenian
termasuk dalam unsur kebudayaan, sebab perwujudan dari kebudayaan tidak
terlepas dari hasil olah pikir dan perilaku manusia lewat bahasa, pergaulan,
dan organisasi sosial. Kesenian merupakan salah satu media paling mudah
diterima dalam penyebaran Islam. Salah satu buktinya adalah penyebaran Islam
dengan menggunakan media wayang kulit dan gamelan seperti yang dilakukan Sunan
Kalijaga.
Berikut
ini adalah seni budaya Nusantara yang telah mendapatkan pengaruh dari ajaran
Islam.
1)
Nama-Nama Bulan dalam Penanggalan Jawa
Masuknya
Islam ke Indonesia, membawa pengaruh pada sistem penanggalan. Islam menggunakan
kalender Hijriah yang berpatokan pada perputaran bulan. Bentuk akulturasi
antara penanggalan Islam dan penanggalan Jawa dapat terlihat pada penamaan
bulan sebagai berikut.
No |
Nama Bulan dalam Islam |
Nama Bulan dalam Penanggalan Jawa |
1 |
Muharram |
Sura |
2 |
Safar |
Sapar |
3 |
Rabiul
awwal |
Mulud |
4 |
Rabiul
akhir |
Bakda
mulud |
5 |
Jumadil
awal |
Jumadil
awal |
6 |
Jumadil
akhir |
Jumadil
akhir |
7 |
Rajab |
Rejeb |
8 |
Sya’ban |
Ruwah |
9 |
Ramadhan |
Pasa |
10 |
Syawal |
Syawal |
11 |
Zulqaidah |
Apit |
12 |
Zulhijjah |
Besar |
2)
Seni Bangunan Masjid
Wujud
akulturasi terlihat dalam bangunan masjid kuno, yaitu dilihat dari bentuk bangunan,
menara dan letak masjid. Kebanyakan bentuk bangunan masjiddi Indonesia terutama
di Jawa berbentuk seperti pendopo yang berbentuk bujur sangkar. Selain itu,
atap masjid berbentuk tumpang. Atap tersebut tersusun ke atas makin kecil dan
tingkat teratas disebut limas. Jumlah tumpang biasanya gasal. Bentuk masjid seperti
ini disebut dengan meru. Bentuk tumpang ini merupakan akulturasi dengan Hindu,
di mana pura milik orang Hindu berbentuk tumpang. Bentuk atap ini sangat
berbeda dengan masjid-masjid di Timur Tengah.
Menara
berfungsi sebagai tempat menyerukan azan. Bentuk akulturasi ini terlihat pada
menara Masjid Kudus yang terbuat dari terakota yang tersusun seperti candi. Di
Banten bentuk menara menyerupai mercusuar di Eropa.
Selain
bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki ciri khusus. Kebanyakan
masjid di Indonesia terletak di sebelah barat alun-alun istana atau keraton.
Selain itu, masjid juga diletakkan dekat dengan makam, terutama makam
raja-raja.
3)
Seni Ukir dan Kaligrafi
Seni
ukir yang dimaksud adalah seni ukir hias untuk hiasan masjid, bangunan makam di
bagian jirat, nisan, cungkup dan tiang cungkup. Seni ukir hias ini antara lain
berupa dedaunan, motif bunga (teratai), bukit-bukti karang, panomara alam, dan
ukiran kaligrafi. Kaligrafi adalah seni menulis indah dengan merangkaikan
huruf-huruf Arab atau ayat suci al-Qur’ān,
hadis, asma Allah Swt., shalawat maupun katakata hikmah sesuai dengan bentuk
yang diinginkan. Kaligrafi Islam sering disebut dengan istilah khat. Kaligrafi
sebagai motif hiasan dapat dijumpai di masjid-masjid kuno, seperti ukir-ukiran
yang terdapat pada masjid di Jepara dan sekitarnya. Bahkan, masjid-masjid
sekarang juga banyak dijumpai tulisan kaligrafi, seperti pada bagian dalam dan
luar masjid, dinding, mimbar, bahkan di tiang-tiangnya.
4)
Seni Tari
Di
beberapa daerah di Indonesia. terdapat bentuk-bentuk tarian yang berkaitan
dengan bacaan shalawat. Misalnya pada seni rebana diikuti dengan tari-tarian
Zipin, bacaan shalawat dengan menggunakan lagu-lagu tertentu. Tari Zipin adalah
sebuah tarian yang mengiringi musik kasidah dan gambus. Tari Zipin diperagakan
dengan gerak tubuh yang indah dan lincah. Musik yang mengiringinya berirama padang
pasir atau daerah Timur Tengah. Tari Zipin biasa dipentaskan pada upacara atau
perayaan tertentu misalnya: khitanan, pernikahan dan peringatan hari besar
Islam lainnya. Di samping Tari Zipin, ada Tari Seudati dari Aceh. Tarian ini
sering disebut Tari Saman. Seudati berasal dari kata syaidati yang berarti
permainan orang-orang besar. Disebut sebagai Tari Saman karena mula-mula
permainan ini dimainkan oleh delapan orang. Saman berasal
dari bahasa Arab yang artinya delapan. Dalam Tari Seudati, para penari
menyanyikan lagu tertentu yang berupa shalawat.
5)
Seni Musik
Kebudayaan
Islam kita juga mengenal seni musik berupa rebana, hadrah, kasidah, nasyid dan
gambus yang melantunkan lagu-lagu dengan syair islami.
Hadrah
adalah salah satu jenis alat musik yang bernapaskan Islam. Lagu-lagu yang
dibawakan adalah lagu yang bernuansa Islami, yaitu tentang pujian kepada Allah Swt.
dan sanjungan kepada Nabi Muhammad saw. Pada zaman sekarang, kesenian hadrah
biasanya hadir ketika acara pernikahan, akikahan atau sunatan.
Kasidah
merupakan suatu jenis seni suara yang menampilkan nasihat-nasihat keislaman.
Lagu dan syairnya banyak mengandung dakwah Islamiyah yang berupa
nasihat-nasihat, shalawat kepada Nabi dan doa-doa. Biasanya, kasidah diiringi
dengan musik rebana. Sejarah pertama kali penggunaan musik rebana adalah ketika
Nabi Muhammad saw. hijrah dari Mekah menuju Madinah. Sesampainya di Madinah,
Rasulullah saw. disambut dengan meriah di Madinah dengan lantunan musik rebana.
6)
Seni Pertunjukan
Seni
pertunjukan wayang kulit merupakan perpaduan kebudayaan Jawa dan unsur
keislaman. Bagi orang Jawa, wayang bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga
wejangan (nasihat-nasihat) karena sarat dengan pesan-pesan moral yang menjadi
filsafat hidup orang Jawa. Pertunjukan wayang diiringi oleh seperangkat alat
musik gamelan.
Wayang
pada mulanya dibuat dari kulit kerbau, hal ini dimulai pada zaman Raden Patah.
Dahulunya, lukisan seperti bentuk manusia, kemudian para wali mengubah
bentuknya. Dari yang semula lukisan wajahnya menghadap lurus, kemudian agak
dimiringkan. Sumber cerita dalam mementaskan wayang diilhami dari Kitab Ramayana dan Mahabarata.
Tentunya, para Wali mengubahnya menjadi ceritacerita keislaman sehingga tidak
ada unsur kemusyrikan di dalamnya. Salah satu lakon yang terkenal dalam
pewayangan ini adalah Jimas Kalimasada yang dalam Islam diterjemahkan menjadi
Jimat Kalimat Syahadat.
7)
Seni Sastra
Seni
sastra yang berkembang pada zaman Islam umumnya berkembang di daerah sekitar
Selat Malaka (daerah Melayu) dan di Jawa. Ditinjau dari corak dan isinya,
kesusastraan zaman Islam dibagi menjadi beberapa jenis. Meskipun pembagian itu
tidak dapat dilakukan secara tegas sebab sering terjadi suatu naskah dapat
dimasukkan ke dalam dua golongan sekaligus. Jenis-jenis karya sastra yang
sesuai dengan ajaran Islam di antaranya sebagai berikut.
a)
Babad
Babad
adalah dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad, tokoh,
tempat, dan peristiwa hampir semua ada daIam sejarah, tetapi penggambarannya
dilakukan secara berlebihan. Babad merupakan campuran antara fakta sejarah, mitos
dan kepercayaan. Contohnya Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon,
Babad Mataram, Babad Surakarta, Babad Giyanti, dan Babad
Pakepung.
Di
daerah Melayu, babad dikenal dengan nama sejarah sarasilah (silsilah) atau
tambo, yang juga diberi judul hikayat. Contohnya Tambo Minangkabau, Hikayat
Raja-raja Pasai, dan Hikayat Sarasilah Perak.
b)
Hikayat
Hikayat
adalah cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan keajaiban dan keanehan.
Tidak jarang hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah atau peristiwa yang
benar-benar terjadi. Hikayat yang terkenal adalah hikayat Raja-raja Pasai,
Hikayat 1001 malam, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain.
c)
Suluk
Suluk
adalah kitab-kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat rnenarik
karena sifatnya pantheisme, yaitu menjelaskan tentang bersatunya manusia dengan
Tuhan (manunggaling kawulo lan Gusti).
Pujangga-pujangga kerajaan dan para wali yang menghasilkan karya-karya sastra
jenis suluk adalah seperti di bawah ini.
1)
Sunan Bonang mengembangkan ilmu suluk dalam bentuk puisi yang dibukukan dalam Kitab
Bonang.
2)
Hamzah Fansuri menghasilkan karya sastra dalam bentuk puisi yang bernafaskan
keislaman, misalnya Syair Perahu dan Syair Dagang.
3)
Syekh Yusuf, seorang ulama Makassar yang diangkat sebagai pujangga di kerajaan Banten,
berhasil menulis beberapa buku tentang tasawuf.
8)
Kesenian Debus
Kesenian
debus difungsikan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam
melawan penjajah. Debus merupakan seni bela diri untuk memupuk rasa percaya
diri dalam menghadapi musuh. Kesenian ini mempertunjukkan aksi kekebalan tubuh
terhadap benda-benda tajam. Filosofi dari kesenian ini adalah kepasrahan kepada
Allah Swt. yang menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya.
3.
Melestarikan Tradisi Islam di Nusantara
Tradisi
adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun temurun oleh
masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum Islam datang, masyarakat
Nusantara sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi
lokal. Melalui kehadiran Islam, kepercayaan dan tradisi di Nusantara tersebut
membaur dan dipengaruhi nilai-nilai Islam. Karenanya, muncullah tradisi Islam
Nusantara sebagai bentuk akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi lokal
Nusantara. Tradisi Islam di Nusantara digunakan sebagai metode dakwah para
ulama zaman itu. Para ulama tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah
ada di masyarakat. Mereka memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi tersebut,
dengan harapan masyarakat tidak merasa kehilangan adat dan ajaran Islam dapat
diterima.
Seni
budaya, adat, dan tradisi yang bernapaskan Islam tumbuh dan berkembang di
Nusantara. Tradisi ini sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara.
Untuk itulah, kita sebagai generasi muda Islam harus mampu merawat,
melestarikan, mengembangkan, dan menghargai hasil karya para ulama terdahulu.
Mengingat zaman modern sekarang ini, ada sebagian kelo pok yang mengharamkan
dan ada sebagian yang menghalalkan. Mereka yang mengharamkan tradisi beralasan
pada zaman Rasulullah saw. tidak pernah ada. Mereka yang membolehkan dengan dasar
bahwa tradisi tersebut digunakan sebagai sarana dakwah dan tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Kita sebagai generasi penerus Islam harus bijaksana dalam
menyikapi tradisi tersebut. Memang, harus diakui ada tradisi-tradisi lokal yang
tidak sesuai dengan Islam. Tradisi seperti ini harus kita tolak dan buang
supaya tidak ditiru oleh generasi berikutnya.
Para
ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi
tersebut dengan sangat matang baik dari segi madharat-mafsadat maupun
halal-haramnya. Mereka sangat paham hukum agama sehingga tidak mungkin mereka
menciptakan tradisi tanpa pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Banyak
sekali tradisi atau budaya Islam yang berkembang hingga saat ini. Semuanya
mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masingmasing. Berikut ini adalah
beberapa tradisi atau budaya Islam dimaksud.
a.
Halal Bihalal
Halal
bihalal dilakukan pada Bulan Syawal, berupa acara saling bermaaf-maafan. Setelah
umat Islam selesai puasa Ramadhan sebulan penuh, dosa-dosanya telah diampuni
oleh Allah Swt. Namun, dosa kepada sesama manusia belum akan diampuni Allah
Swt. jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang tersebut. Oleh karena
itu tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka saling memaafkan atas dosa dan
kesalahan yang pernah dilakukan agar kembali kepada fitrah (kesucian). Tradisi
ini erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri.
Tujuan
halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim
dan mempererat tali persaudaraan. Sampai saat ini, tradisi ini masih dilakukan
di semua lapisan masyarakat. Mulai keluarga, tingkat RT sampai istana
kepresidenan. Bahkan, acara halal bihalal sudah menjadi tradisi nasional yang bernapaskan
Islam.
Istilah
halal bihalal berasal dari bahasa Arab (halla atau
halal), tetapi tradisi halal bihalal itu sendiri adalah tradisi khas bangsa
Indonesia, bukan berasal dari Timur Tengah. Bahkan, bisa jadi ketika arti kata ini
ditanyakan kepada orang Arab, mereka akan kebingungan dalam menjawabnya.
Halal
bihalal sebagai sebuah tradisi khas Islam Indonesia lahir dari sebuah proses
sejarah. Tradisi ini digali dari kesadaran batin tokoh-tokoh umat Islam masa
lalu untuk membangun hubungan yang harmonis(silaturahim) antar umat. Dengan
acara halal bihalal, pemimpin agama, tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah akan
berkumpul, saling berinteraksi dan saling bertukar informasi. Komunikasi ini
akan mempererat kekeluargaan dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Pada
acara halal bihalal, semua orang mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Hal
ini mengandung maksud bahwa ketika secara lahir, telah memaafkan yang ditandai
dengan berjabat tangan atau mengucapkan kata maaf, batinnya juga harus dengan
tulus memaafkan dan tidak lagi tersisa rasa dendam dan sakit hati.
b.
Tabot atau Tabuik
Tabot
atau tabuik adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu dan Padang untuk
mengenang kisah kepahlawanan dan kematian Hasan dan Husein bin Ali bin Abi
Thalib, cucu Nabi Muhammad saw. Kedua cucu Rasulullah saw. ini gugur dalam
peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Perayaan di Tabot atau Tabuik pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin
yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaikh Burhanuddin menikah
dengan wanita Bengkulu, kemudian keturunannya disebut sebagai keluarga Tabot.
Upacara ini dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar
Islam) setiap tahun.
Istilah
tabot berasal dari kata Arab, “tabut”, yang
secara harfiah berarti kotak kayu atau peti. Tidak ada catatan tertulis sejak
kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkul. Namun, diduga kuat tradisi ini
dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di
Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras
dan Bengali di bagian selatan India.
c.
Kupatan (Bakdo Kupat)
Di
Pulau Jawa, bahkan sudah berkembang ke daerah-daerah lain, terdapat tradisi
kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah Hari
Raya Idul Fitri. Biasanya, masyarakat berkumpul di suatu tempat seperti mushala
dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan hidangan yang didominasi kupat
(ketupat). Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman
(longsong) dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda). Sampai saat ini,
ketupat menjadi maskot Hari Raya Idul Fitri.
Ketupat
memang sebagai makanan khas lebaran. Makanan itu ternyata bukan sekadar sajian
pada hari kemenangan, tetapi punya makna mendalam dalam tradisi Jawa. Oleh para
Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama.
Oleh sebagian besar masyarakat, kupat juga menjadi singkatan atau di-jarwo dhosok-kan
menjadi rangkaian kata yang sesuai dengan momennya yaitu Lebaran. Kupat adalah
singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol untuk saling
memaafkan.
d.
Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta
Tradisi
Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton
Yogyakarta. Tradisi ini dilaksanakan dan dilestarikan sebagai wujud mengenang
jasa-jasa para Walisongo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten,
yang berasal dari kata syahadatain (dua
kalimat Syahadat). Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama Islam yang pada
mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang. Dahulu, setiap kali Sunan Bonang
membunyikan gamelan, diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama Islam
serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain.
Jadi,
Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam memperingati
kelahiran Nabi Muhammad saw. Sebagai tuntunan bagi umat manusia, diharapkan
masyarakat yang datang ke Sekaten juga mempunyai motivasi untuk mendapatkan
berkah dan meneladani Nabi Muhammad saw.
Dalam
upacara Sekaten tersebut, disuguhkan gamelan pusaka peninggalan dinasti
Majapahit yang telah dibawa ke Demak. Suguhan ini sebagai pertanda bahwa dalam
berdakwah, para wali mengemasnya dengan menjalin kedekatan kepada masyarakat.
e.
Grebeg
Grebeg
merupakan tradisi untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg
pertama kali diselenggarakan Sultan Hamengkubuwana ke-1 oleh Keraton
Yogyakarta. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat dalem berupa
menikahkan putra mahkotanya. Grebek di Yogyakarta diselenggarakan 3 tahun sekali.
Pertama, grebek pasa-syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk
menghormati bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr. Kedua, grebeg besar, diadakan
setiap tanggal 10 Dzulhijjah untuk merayakan Hari Raya Kurban. Ketiga, grebeg
maulud setiap tanggal 12 Rabiul Awwal untuk memperingati hari Maulid Nabi
Muhammad saw. Selain Kota Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta grebeg adalah Solo,
Cirebon dan Kota Demak.
f.
Grebeg Besar di Demak
Tradisi
Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di
Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10
Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban.
Tradisi ini cukup menarik karena Demak merupakan pusat perjuangan Wali Songo
dalam dakwah.
Pada
awalnya, Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan
dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan
Masjid Agung Demak. Mesjid ini didirikan oleh Wali Songo pada tahun 1399 Caka,
bertepatan 1477 Masehi. Tahun berdirinya masjid ini tertulis pada bagian
Candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janmo”.
Pada
tahun 1428, tertulis dalam Caka tersebut Sunan Giri meresmikan penyempurnaan
Masjid Demak. Tanpa diduga, pengunjung yang hadir sangat banyak. Kesempatan ini
kemudian digunakan para Wali untuk melakukan dakwah Islam. Jadi, tujuan semula
Grebeg Besar adalah untuk merayakan Hari Raya Kurban dan memperingati peresmian
Masjid Demak.
g.
Kerobok Maulid di Kutai dan Pawai Obor di Manado
Di
kawasan Kedaton Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, juga
diselenggarakan tradisi yang dinamakan Kerobok Maulid. Istilah Kerobok
berasal dari bahasa Kutai yang artinya berkerubun atau berkerumun
oleh orang banyak. Tradisi Kerobok Maulid dipusatkan di halaman Masjid Jami’
Hasanuddin, Tenggarong. Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati
kelahiran Nabi Muhammad saw., tanggal 12 Rabiul Awwal.
Kegiatan
Kerobok Maulid ini diawali dengan pembacaan Barzanji di Masjid Jami’ Hasanudin
Tenggarong. Kemudian, dari Keraton Sultan Kutai, puluhan prajurit Kesultanan
akan keluar dengan membawa usung-usungan yang berisi kue tradisional, puluhan
bakul Sinto atau bunga rampai dan Astagona.
Usung-usungan
ini kemudian dibawa berkeliling antara Keraton dan Kedaton Sultan dan berakhir
di Masjid Jami’ Hasanuddin. Kedatangan prajurit keraton dengan membawa Sinto,
Astagona dan kue-kue di Masjid Hasanuddin ini akan disambut dengan pembacaan
Asrakal yang kemudian membagi-bagikannya kepada warga masyarakat yang ada di
dalam masjid. Akhir dari upacara Kerobok ini ditandai dengan penyampaian hikmah
maulid oleh seorang ulama.
Lain
di Kutai lain pula di Manado. Untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.
warga muslim di Kota Manado, Sulawesi Utara, menggelar tradisi pawai obor. Obor
yang dibawa berpawai oleh ribuan warga membuat jalan-jalan di Kota Manado
terang. Bagi warga muslim setempat, pawai obor sudah jadi tradisi dan
dilaksanakan turuntemurun sebagai simbol penerangan. Lebih lanjut, simbol
penerangan itu bermakna bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah membawa ajaran
yang menjadi cahaya penerang iman saat manusia hidup dalam kegelapan dan
kemusyrikan.
h.
Tradisi Rabu Kasan di Bangka
Tradisi
Rabu Kasan dilaksanakan di Kabupaten Bangka setiap tahun, tepatnya pada hari
rabu terakhir bulan Safar. Hal ini sesuai dengan namanya, yakni Rabu Kasan
berasal dari Kara Rabu Pungkasan (terakhir).
Upacara
Rabu Kasan sebenarnya tidak hanya dilakukan di Bangka saja, tetapi juga di
daerah lain, seperti di Bogor Jawa Barat dan Gresik Jawa Timur. Pada dasarnya
maksud dari tradisi ini sama, yaitu untuk memohon kepada Allah Swt. agar
dijauhkan dari bala’ (musibah dan bencana).
Di
Kabupaten Bangka, tradisi ini dipusatkan di desa Air Anyer, Kecamatan Merawang.
Sehari sebelum upacara Rabu Kasan di Bangka diadakan, semua penduduk telah
menyiapkan segala keperluan upacara tersebut seperti ketupat tolak balak, air
wafak, dan makanan untuk dimakan bersama pada hari Rabu esok hari.
Tepat
pada hari Rabu Kasan, kira-kira pukul 07.00 WIB semua penduduk telah hadir di
tempat upacara dengan membawa makanan dan ketupat tolak bala sebanyak jumlah
keluarga masing-masing. Acara diawali dengan berdirinya seseorang di depan
pintu masjid dan menghadap keluar lalu mengumandangkan azan. Lalu disusul dengan
pembacaan doa bersama-sama. Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau
melepaskan anyaman ketupat tolak balak yang telah tersedia tadi, satu per satu
menurut jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya masing-masing.
Kemudian,
dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah itu, masing-masing pergi
mengambil air wafak yang telah disediakan untuk semua anggota keluarganya.
Setelah selesai acara ini, mereka pulang dan bersilahturahmi ke rumah tetangga
atau keluarganya.
i.
Dugderan di Semarang
Tradisi
Dugderan merupakan tradisi khas yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, Jawa
Tengah. Tradisi Dugderan dilakukan untuk menyambut datangnya bulan puasa.
Dugderan biasanya diawali dengan pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota
Semarang.
Ritual
dugderan akan dilaksanakan setelah salat Asar yang diawali dengan musyawarah
untuk menentukan awal bulan Ramadhan yang diikuti oleh para ulama. Hasil
musyawarah itu kemudian diumumkan kepada khalayak. Sebagai tanda dimulainya
berpuasa, dilakukan pemukulan bedug. Hasil musyawarah ulama yang telah
dibacakan itu kemudian diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah. Setelah itu,
Kanjeng Bupati Semarang (Walikota Semarang) dan Gubernur bersama-sama memukul
bedug kemudian diakhiri dengan doa.
j.
Budaya Tumpeng
Tumpeng
adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut. Nasi
tumpeng umumnya berupa nasi kuning, atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini
khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat pada saat
kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, budaya tumpeng
sudah menjadi tradisi nasional bangsa Indonesia. Tumpeng biasa disajikan di atas
tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang. Ada tradisi tidak tertulis
yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang
dituakan dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa
hormat kepada orang tersebut. Saat ini, budaya tumpeng sudah menjadi tradisi
nasional bangsa Indonesia.
Kisah Teladan
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Hari
kedua dilantik menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyampaikan khutbah umum.
Di ujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad
saw. dan tiada kitab selepas al-Qur’ān.
Aku bukan penentu hukum, malah aku pelaksana hukum Allah Swt. Aku bukan ahli
bid’ah, malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling
baik di kalangan kamu, aku hanya orang yang paling berat tanggungannya di
kalangan kamu. Aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang
paling banyak dosa di sisi Allah Swt.” Beliau kemudian duduk dan menangis. “Alangkah
besarnya ujian Allah Swt. kepadaku” sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Beliau
pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur istri “Apa yang Amirul Mukminin
tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai istriku, aku telah diuji oleh Allah dengan
jabatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu
yang janda, anaknya banyak, rezekinya sedikit. Aku teringat orang-orang dalam
tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan menuntutku di
akhirat kelak dan aku takut aku tidak dapat menjawab hujjah-hujjah mereka
karena aku tahu yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw.’’
Istrinya juga turut mengalir air mata.
Umar
Ibn Abdul Aziz mulai memerintah pada usia 36 tahun, memerintah dalam kurun
waktu 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada
waktu inilah, dikatakan tiada satu pun umat Islam yang layak menerima zakat
sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa ditawar-tawarkan kepada siapa
saja yang membutuhkan. Sumber: http://id.wikipedia.org
Rangkuman
1.
Sebelum tradisi Islam ada di Indonesia, telah ada tradisi Hindu-Buddha. sehingga
pada akhirnya terjadi akulturasi di antara keduanya.
2.
Pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha dalam kebudayaan Indonesia, misalnya tampak
pada seni rupa dan seni ukir.
3.
Seni Islam yang berkembang di Nusantara adalah seni arsitektur, seni ukir, kaligrafi,
seni tari, seni musik/suara, seni pertunjukan, dan seni sastra.
4.
Tradisi atau budaya Islam yang berkembang di Nusantara, seperti Halal Bihalal,
Tabot atau Tabuik, Kupatan, Sekaten, Grebeg, Grebeg Besar, Kerobok Maulid,
Tradisi Rabu Kasan, Dugderan, Tumpeng, dan lainnya.
5.
Umat Islam atau generasi muda dapat menjaga kelestarian tradisi Islam dengan cara
melanjutkan keberadaannya atau mengembangkannya agar sesuai dengan perkembangan
zaman.
Sumber
: ( Buku PAI dan Budi Pekerti Kelas IX Revisi 2018 Kemendikbud )
0 comments:
Post a Comment