Wahai remaja muslim yang cerdas, kisah dan sejarah yang akan disajikan
pada bagian ini merupakan kisah terhebat dalam sejarah peradaban Islam. Kisah
yang dimaksud adalah mengenai tumbuh suburnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah
Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, Irak.
Puncak dari masa keemasan itu ditandai dengan tumbuh suburnya ilmu pengetahuan
pada abad ke-8. Saat itu para ilmuwan muslim sangat produktif dan menjadi
pelopor perkembangan ilmu pengetahuan di dunia. Subhanallah.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah
Harun ar-Rasyid dan puteranya Al-Ma’mun.
Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan sosial, dan
mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Bayangkan, pada
masa itu sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Bidang kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma’mun, pengganti Harun ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji
penerjemahpenerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli.
Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah
Bagdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Mari kita renungkan, betapa harum citra dunia Islam waktu itu. Kaum
muslimin sangat disegani oleh pergaulan di seluruh dunia. Waktu itu umat Islam
identik dengan ilmu pengetahuan. Kemajuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan
selalu dipelopori dari kalangan kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena al-Qur’ān
dan Hadis menjadi sumber inspirasi dan
motivasi. Akankah masa kejayaan dan kemajuan tersebut pada saatnya dapat
terulang kembali? Jawabannya tentu ada pada benak kalian para generasi muslim.
Mutiara
Khazanah Islam
1.
Pemerintahan Daulah Abbasiyah
Pemerintahan Daulah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan
sebelumnya dari Bani Umayyah. Pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Pola pemerintahan
yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
cukup panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
a. Periode Pertama (132 -232 H / 750-847 M), disebut periode pengaruh Arab
dan Persia pertama.
b. Periode Kedua (232- 334 H /847-945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
c. Periode Ketiga (334- 447 H / 945-1055 M), masa kekuasaan dinasti
BaniBuwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.
d. Periode Keempat (447- 590 H / 1055-l194 M), masa kekuasaan daulah Bani
Seljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah
al-Kubra/Seljuk Agung).
e. Periode Kelima (590- 656 H / 1194-1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad
dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Berikut ini adalah silsilah Bani Abbasiyah sampai khalifah ke-15 dari
37 khalifah secara keseluruhan.
Pada awalnya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun,
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
Khalifah al-Mansur (khalifah ke-2) memindahkan ibu kota negara ke kota yang
baru dibangunnya, yakni Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, tahun 762 M.
Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif.
Dalam bidang pemerintahan, al-Mansur menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementerian yang ada. Wazir pertama
yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga
membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di
samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa
dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu
hanya sekadar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Pada masa al-Mahdi (khalifah ke-3) perekonomian mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan
seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Di samping itu transit perdagangan
antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan
yang penting.
Daulah Abbasiyah mengalami masa keemasan pada masa diperintah oleh Khalifah
Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Harun
ar-Rasyid adalah seorang khalifah yang adil dan memiliki jiwa sosial yang sangat
tinggi. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan layanan kesehatan, dia mendirikan
rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masa pemerintahannya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter.
Harun ar-Rasyid juga membangun tempat-tempat untuk pemandian umum utuk
rakyatnya. Sungguh pada waktu itu kesejahteraan, sosial, dan kesehatan menjadi
perhatian serius pemerintah. Untuk mendukung terwujudnya kemajuan tersebut,
pemerintah mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan
melalui sektor pendidikan.
Perhatian pemerintah terhadap masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan berlanjut
pada saat Daulah Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah al-Ma’mun. Khalifah al-Ma’mun adalah khalifah setelah Harun ar-Rasyid. al-Makmun juga dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk keperluan penerjemahan ini ia mendirikan
lebaga yang bernama Baitul Hikmah sebagai pusat penerjemahan sekaligus
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Al-Mu’tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan.
Praktik perang bagi orang-orang muslim sudah terhenti. Tentara dibina
secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam
periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu
stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan
internal Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di
Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan,
semuanya dapat dipadamkan.
2.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Bani Abbasiyah
Pada masa Daulah Abbasiyah merupakan masa keemasan (The
Golden Age) bagi umat Islam. Pada masa itu Umat
Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban,
dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa
asing ke dalam bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendekiawancendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Adapun cendekiawan-cendekiawan Islam pada masa
Daulah Abasiyah adalah sebagai berikut :
a. Bidang ilmu Filsafat
Tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu filsafat ini adalah Abu Nasyar Muhammad
bin Muhammad bin Tarhan yang dikenal dengan al-Farabi, Abu Yusuf bin Ishak yang
dikenal dengan al-Kindi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusd, Ibnu Bajah dan Ibnu
Tufail.
b. Bidang ilmu Kedokteran
Tokoh cendekiawan Islam di bidang kedokteran ini adalah Jabir bin Hayyan
yang dikenal sebagai bapak ilmu kimia, Hunaian bin Ishak yang dikenal sebagai
ahli penerjemah buku-buku asing, Ibnu Sahal, ar-Razi (ahli penyakit campak dan
cacar), dan Thabit Ibnu Qurra.
c. Bidang ilmu Matematika
Tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu matematika ini adalah Muhammad
bin Musa al-Khawarizmi (penemu huruf nol) yang dengan bukunya Algebra, Geometri
Ilmu Matematika, Umar bin Farukhan
(bukunya Quadripartitum), Banu Musa (ilmu mengukur permukaan, datar,
dan bulat).
d. Bidang ilmu Falak
Tokoh cendekiawan Islam dibidang ilmu Falak
ini adalah Abu Masyar al-Falaky (bukunya
Isbatul Ulum dan Haiatul Falak), Jabir Batany (membuat teropong bintang),
Raihan Bairuny (bukunya al-Afarul Bagiyah’ainil Khaliyah, Istikhrajul Autad dan
lain-lain).
e. Bidang ilmu Astronomi
Tokoh cendekiawan Islam di bidang Astronomi adalah al-Farazi (pencipta
Astro Lobe), al-Gattani/Albetagnius, al-Farghoni atau Alfragenius.
f. Bidang ilmu Tafsir
Tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu Tafsir ini adalah Ibnu Jarir at-abary,
Ibnu Atiyah al-Andalusy, as-Suda, Mupatil bin Sulaiman, Muhammad bin Ishak dan
lain-lain.
g. Bidang ilmu Hadis
Tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu Hadis ini adalah Imam Bukhari, Imam
Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, at-Tarmidzi, dan lain-lain
h. Bidang ilmu Kalam (tauhid)
Tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu Kalam
ini adalah Wasil bin Atha’, Abu Huzail
al-Allaf, ad-Dhaam, Abu Hasan al-Asy’ary, Hujjatul Islam Imam al-Gazali.
Pembahasan ilmu tauhid semakin
luas dibandingkan dengan zaman sebelumnya.
i. Bidang ilmu Tasawuf (ilmu
mendekatkan diri pada Allah Swt.)
Tokoh cendekiawan Islam di bidang ilmu Tasawuf
ini adalah al-Qusyairy dengan karyanya
ar-RiŚalatul
Qusyairiyah, Syahabuddin dengan karyanya Awariful Ma’arif, Imam al-Gazali
dengan karyanya al-Bashut, al-Wajiz, dan lain-lain.
j. Para imam Fuqaha (ahli fiqh)
Tokoh cendekiawan Islam para iman Fuqaha ini adalah Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad
bin Hambali.
3.
Perkembangan Kebudayaan pada Masa Bani Abbasiyah
Pusat peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah adalah:
a. Kota Bagdad, merupakan ibu kota negara Kerajaan Abbasiyah yang didirikan
oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (754 – 775 M) pada tahun 762 M. Kota ini
terletak di tepian Sungai Tigris. Masa keemasan Kota Bagdad terjadi pada
pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid (786 – 809 M) dan anaknya al-Ma’mun (813 –
833M).
b. Kota Samarra, letaknya di sebelah timur Sungai Tigris yang berjarak
kurang lebih 60 km dari Kota Bagdad. Di kota ini terdapat 17 istana mungil yang
menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota lain.
Kemajuan yang dicapai tidak hanya mencakup kepentingan sosial saja, tetapi
juga peradaban di semua aspek kehidupan, seperti: administrasi pemerintahan
dengan biro-bironya, sistem organisasi militer, administrasi wilayah
pemerintahan, pertanian, perdagangan, dan industri, Islamisasi pemerintahan,
kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi,
filsafat Islam, teologi, hukum (fiqh), dan
etika Islam, sastra, seni, dan penerjemahan serta pendidikan, kesenian,
arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab),
menengah, dan perguruan tinggi, perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni
rupa, seni musik, dan arsitek.
Kisah
Teladan
Muhammad bin
Musa al-Khawarizmi
Al-Khawarizmi adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi,
dan geografi yang berasal dari Persia. Ia lahir sekitar tahun 780 M di Khwārizm
(sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850 M di Bagdad. Beliau
bekerja sebagai dosen di Sekolah Kehormatan di Bagdad. Aktivitas ini
dilakukan hampir dalam sepanjang hidupnya.
Karya pertamanya adalah buku al-Jabar. Buku ini merupakan yang pertama
membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut
sebagai Bapak Aljabar. Translasi bahasa Latin dari Aritmatika beliau, yang
memperkenalkan angka India, kemudian diperkenalkan sebagai “Sistem Penomoran
Posisi Desimal” di dunia Barat pada abad ke-12. Ia merevisi dan menyesuaikan
Geografi Ptolemeus sebaik mengerjakan tulisan-tulisan tentang astronomi dan
astrologi.
Sumbangan al-Khawarizmi tak hanya berdampak besar pada matematika, tetapi
juga dalam kebahasaan. Kata Aljabar berasal dari kata al-Jabr, satu dari dua
operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat, yang tercantum
dalam buku beliau. Kata logarisme dan logaritma diambil dari kata Algorismi,
Latinisasi dari nama beliau. Nama beliau juga di serap dalam bahasa Spanyol
Guarismo dan dalam bahasa Portugis, Algarismo yang berarti digit.
Karya terbesar beliau dalam matematika, astronomi, astrologi,
geografi, kartografi, sebagai fondasi dan kemudian lebih inovatif dalam
aljabar, trigonometri, dan pada bidang lain yang beliau tekuni. Pendekatan
logika dan sistematis beliau dalam penyelesaian linear dan notasi kuadrat
memberikan keakuratan dalam disiplin aljabar. Nama yang diambil dari nama salah
satu buku beliau pada tahun 830 M, al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa’l-Muqabala
atau: “Buku Rangkuman untuk Kalkulasi dengan Melengkapkan dan Menyeimbangkan”,
buku pertama beliau yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12.
Pada buku beliau, Kalkulasi dengan angka Hindu, yang ditulis tahun 825
M, memprinsipkan kemampuan difusi angka India ke dalam perangkaan Timur Tengah
dan kemudian Eropa. Buku beliau diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Algoritmi
de numero Indorum, menunjukkan kata algoritmi menjadi bahasa Latin.
Beberapa sumbangan beliau berdasar pada Astronomi Persia dan Babilonia,
angka India, dan sumber-sumber Yunani.
Sistemasi dan koreksi beliau terhadap data Ptolemeus pada geografi adalah
sebuah penghargaan untuk Afrika dan Timur Tengah. Buku besar beliau yang lain,
Kitab surat al-Ard (“Pemandangan Bumi” diterjemahkan oleh Geography), yang
memperlihatkan koordinat dan lokasi dasar yang diketahui dunia, dengan berani
mengevaluasi nilai panjang dari Laut Mediterania dan lokasi kota-kota di Asia
dan Afrika yang sebelumnya diberikan oleh Ptolemeus.
Ia kemudian mengepalai konstruksi peta dunia untuk Khalifah al-Ma’mun dan
berpartisipasi dalam proyek menentukan tata letak di Bumi, bersama dengan 70
ahli geografi lain untuk membuat peta yang kemudian disebut “Ketahuilah Dunia”.
Ketika hasil kerjanya disalin dan ditransfer ke Eropa dan
Bahasa Latin, menimbulkan dampak yang hebat pada kemajuan matematika dasar
di Eropa. Ia juga menulis tentang astrolab dan sundial.
Buku besar kedua beliau adalah tentang aritmatika, yang bertahan dalam
bahasa Latin, tetapi hilang dari bahasa Arab yang aslinya. Translasi dilakukan pada
abad ke-12 oleh Adelard of Bath, yang juga menerjemahkan tabel astronomi pada
1126.
Pada manuskrip Latin, biasanya tak bernama,tetapi umumnya dimulai dengan
kata: Dixit algorizmi (“Seperti kata al-Khawarizmi “), atau Algoritmi de numero
Indorum (“al-Khawarizmi pada angka kesenian Hindu”), sebuah nama baru di
berikan pada hasil kerja beliau oleh Baldassarre Boncompagni pada 1857. Kitab
aslinya mungkin bernama Kitāb al-Jam’a wa-l-tafrīq bi-hisāb al-Hind (“Buku
Penjumlahan dan Pengurangan berdasarkan Kalkulasi Hindu”).
Buku ketiga beliau yang terkenal adalah Kitāb Sūrat
al-Arś “Buku Pemandangan Dunia” atau “Kenampakan
Bumi” diterjemahkan oleh Geography, yang selesai pada 833 adalah revisi dan
penyempurnaan Geografi Ptolemeus, terdiri dari daftar 2402 koordinat dari
kota-kota dan tempat geografis lainnya mengikuti perkembangan umum.
Hanya ada satu salinan dari Kitāb Sūrat al-Arś, yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Strasbourg. Terjemahan
Latinnya tersimpan di Biblioteca Nacional de España di Madrid. Judul lengkap
buku beliau adalah Buku Pendekatan Tentang Dunia, dengan Kota-Kota, Gunung,
Laut, Semua Pulau dan Sungai, ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin Musa
al-Khawarizmi berdasarkan pendalaman geografis yang ditulis oleh Ptolemeus dan
Claudius.
Buku ini dimulai dengan daftar bujur dan lintang, termasuk “Zona Cuaca”,
yang menulis pengaruh lintang dan bujur terhadap cuaca. Oleh Paul Gallez, dikatakan
bahwa ini sangat bermanfaat untuk menentukan posisi kita dalam kondisi yang
buruk untuk membuat pendekatan praktis. Baik dalam salinan Arab maupun Latin,
tak ada yang tertinggal dari buku ini. Oleh karena itu, Hubert Daunicht
merekonstruksi kembali peta tersebut dari daftar koordinat. Ia berusaha mencari
pendekatan yang mirip dengan peta tersebut.
Tak cukup hanya sampai buku ketiga, beliau juga menulis buku-buku lain
yang menjadi rujukan para ilmuwan pada periode berikutnya sampai
sekarang.
Sumber : Wikipedia
Rangkuman
1. Kemajuan Islam pada Masa Bani Abbasiyah
Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah pada
tahun132 H / 750 M. Daulah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan Daulah
Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Kemajuan dan perkembangan pada periode
Bani Abbasiyah dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal (dari ajaran
agama Islam) dan faktor eksternal (proses sejarah umat Islam dalam
kehidupannya).
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Bani Abbasiyah
Pada masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan bagi umat
Islam atau yang sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’.
3. Perkembangan Kebudayaan Pada Masa Bani Abbasiyah
Pusat peradapan Islam pada masa Daulah Abasiyah adalah: di Kota Bagdad
dan Kota Samarra. Kemajuan yang dicapai tidak hanya mencakup kepentingan sosial
saja, tetapi juga aspek peradaban dalam semua aspek kehidupan, seperti:
administrasi pemerintahan dengan birobironya, sistem organisasi militer,
administrasi wilayah pemerintahan, pertanian, perdagangan, dan industry,
Islamisasi pemerintahan, kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika,
geografi, historiografi, filsafat Islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika Islam, sastra, seni, dan penerjemahan serta pendidikan,
kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah, dan perguruan tinggi, perpustakaan dan toko buku, media
tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek.
4. Hikmah mempelajari sejarah pertumbuhan Ilmu pada masa Daulah
Abbasiyah: meningkatkan keimanan kepada Allah Swt., dengan melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,menumbuhkan semangat menuntut
ilmu baik ilmu agama maupun ilmu dunia seperti yang telah dicontohkan oleh para
cendekiawan Islam mengembangkan nilai-nilai kebudayaan yang sesuai dengan ajaran
Islam, membina rasa kesatuan dan persatuan umat Islam dan
kerukunan beragama di seluruh dunia yang tidak membeda-bedakan suku,
bangsa, negara, warna kulit, dan lain sebagainya.
Sumber : ( Buku PAI dan Budi Pekerti Kelas VIII Revisi 2017 Kemendikbud )
0 comments:
Post a Comment