Pages

Saturday, 10 April 2021

Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara

 

Download PAI Kelas 9 BAB 6

Pernahkah kamu menghadiri acara tabligh akbar atau pengajian umum? Jika pernah, tentu di sana ada seorang mubalig atau dai yang sedang berceramah menyampaikan ajaran Islam. Para mubalig dan dai tersebut berceramah dengan gaya dan ciri khasnya masing-masing. Tujuannya agar menarik perhatian hadirin sehingga mereka memahami materi yang disampaikan. Materi yang sudah dipahami tersebut hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Islam mengajarkan bahwa tugas dakwah bukan hanya dibebankan kepada mubalig. Setiap orang Islam memiliki kewajiban untuk berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain. Dakwah bukan untuk mencari uang, bukan pula untuk mencari popularitas, tetapi semata-mata untuk mencari rida Allah Swt.

Demikian pula yang dilakukan oleh para penyebar Islam di Nusantara. Mereka berdakwah dengan penuh semangat dan keikhlasan. Samudra luas bukan penghalang untuk berdakwah, justru sebaliknya menjadi pemacu semangat. Sambil berdagang, para penyebar Islam tersebut datang ke

Nusantara untuk berdakwah. Kedatangan mereka disambut hangat dan diterima dengan baik. Hal ini disebabkan dakwah yang mereka lakukan adalah dakwah dengan cara-cara damai, bukan dengan kekerasan. Bagi Islam, tidak ada paksaan dalam beragama karena telah tampak jelas mana

yang haq dan batil.

Apakah para penyebar Islam di Nusantara tidak menghadapi hambatan dan tantangan selama berdakwah di Nusantara? Jawabannya tentu ada. Setiap dakwah pasti ada hambatan dan tantangan, tetapi semua itu dapat diatasi dengan bekal keteguhan iman, ilmu, kecerdasan, dan akhlak mulia. Ajaran Islam mudah diterima oleh penduduk Nusantara. Hal ini dikarenakan Islam adalah agama yang nyata kebenarannya, rasional, mengajarkan kedamaian dan persamaan derajat.

Keberhasilan dakwah di Nusantara dapat dinikmati hingga saat ini. Bahkan, saat ini, Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Kita harus meneladani kegigihan mereka dalam berdakwah. Oleh karena itu, kita harus berdakwah dengan cara kita masing-masing. Sebagai pelajar, cara kamu berdakwah tentunya dengan belajar tekun dan berakhlak mulia kepada siapa pun. Tunjukkanlah bahwa kamu adalah generasi muda Islam yang tangguh, cerdas, dan berkarakter.

Mutiara Khasanah Islam

1. Alur Perjalanan Dakwah di Nusantara

Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Padahal jika kita melihat sejarah lahirnya agama Islam yang dibawa para nabi, Indonesia tidak begitu dikenal. Namun, berkat kegigihan para dai dan ulama, perkembangan Islam di Nusantara begitu pesat sampai saat ini. Lalu, bagaimanakah alur perjalanan dakwah di Nusantara?

Sejak zaman Prasejarah, penduduk Nusantara dikenal sebagai pelayarpelayar tangguh yang sanggup mengarungi samudra lepas. Menurut catatan sejarah, pada awal Masehi, sudah ada jalur pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di Asia Tenggara. Wilayah Nusantara yang menjadi lintasan penting perdagangan adalah wilayah Nusantara bagian barat, yakni Malaka dan sekitarnya. Daerah tersebut sudah terkenal sejak zaman dahulu karena kaya akan hasil bumi. Daerah tersebut kemudian menjadi perlintasan para pedagang Cina dan India. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatradan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang dari Lamuri (Aceh), Barus, Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik.

Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada abad ke-7 Masehi (abad ke-1 Hijriyah). Malaka menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini sejak abad ke-1 Hijriyah.

Para ahli sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Sebelum Islam datang, Nusantara berada dalam pengaruh agama Hindu-Buddha. Pengaruh-pengaruh tersebut berdampak pada pola hidup masyarakat di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya pengaruh Islam jauh lebih kuat daripada pengaruh agama Hindu-Buddha.

Masuknya agama Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan berlangsung dengan cara damai. Ajaran Islam mudah diterima dan mendapat perhatian dari penduduk Nusantara. Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Namun, keberadaan para pemeluk ajaran Islam menjadi jelas pada abad ke-13 yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samudra Pasai di Aceh sebagai kerajaan Islam yang pertama.

Proses masuknya Islam di Indonesia berjalan secara bertahap dan melalui banyak cara. Menurut para ahli sejarah, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia adalah sebagai berikut.

a) Teori Mekah

Menurut teori Mekah, proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Terjadi pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Para pedagang dari Timur Tengah memiliki misi dagang dan dakwah sekaligus. Bahkan, motivasi dakwah menjadi pendorong utama mereka datang ke Nusantara. Orangorang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad saw. yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif” di depan namanya. Menurut para ahli sejarah, jalur perdagangan antara Indonesia Arab telah berlangsung jauh sebelum Masehi.

b) Teori Gujarat

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat adalah sebuah wilayah di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Menurut teori ini, orang-orang Arab bermazhab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyah (abad ke-7 Masehi). Namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke Nusantara. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab.

c) Teori Persia

Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (sekarang Iran). Sebagai buktinya, ada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain adalahtradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro.

d) Teori Cina

Menurut teori Cina, proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di tanah Jawa) berasal dari para pedagang Cina. Mereka telah berhubungan dagang dengan penduduk Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia, yakni sejak masa Hindu-Buddha. Ajaran Islam sendiri telah sampai di Cina pada abad ke-7 M. Pada masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Guanzhou, Kanton, Zhang-zhao, dan pesisir Cina selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Sebagai pembuktian teori Cina ini, bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Bukti lainnya adalah adanya masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Cina atau Tiongkok di berbagai tempat di Pulau Jawa. Pelabuhan penting seperti di Gresik, misalnya, menurut catatancatatan Cina, diduduki pertama kali oleh para pelaut dan pedagang Cina.

Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam setiap teori tersebut. Semua teori di atas semakin memperkaya khazanah keilmuan tentang sejarah Islam di Nusantara.

Agama Islam berkembang di Indonesia disebarkan oleh berbagai golongan, yakni para pedagang, mubalig, sufi, dan para wali. Para wali menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Di antara sekian banyak wali, yang terkenal adalah Wali Songo (Wali Sembilan). Berikut ini adalah uraian setiap Wali Songo.

1). Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang diduga berasal dari Persia dan berkedudukan di Gresik.

2). Sunan Ampel atau Raden Rahmat, berkedudukan di Ampel, Surabaya.

3). Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban.

4). Sunan Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih yang semula bernama Raden Paku, berkedudukan di Bukit Giri, dekat Gresik.

5). Sunan Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari Sunan Ampel dan berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya.

6). Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Syeikh Nurullah berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh yang berkedudukan di Gunung Jati, Cirebon.

7). Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus.

8). Sunan Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid. Beliau adalah putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.

9). Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga berkedudukan di Gunung Muria, Kudus.

2. Cara-Cara Dakwah di Nusantara

Para da’i dan mubalig menyebarkan Islam di Nusantara dengan caracara sebagai berikut.

a. Perdagangan

Proses penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dilakukan oleh para pedagang muslim pada abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang tersebut berasal dari Arab, Persia, dan India. Jalur perdagangan saat itu menghubungkan Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Para pedagang muslim menggunakan kesempatan itu untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Mereka memiliki akhlak mulia, santun, dapat dipercaya dan jujur. Hal inilah yang menjadi daya tarik sehingga banyak penduduk Nusantara secara sukarela masuk Islam. Banyak pedagang muslim yang singgah dan bertempat tinggal di Indonesia. Sebagian ada yang tinggal sementara ada pula yang menetap di Indonesia. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan muslim.

b. Perkawinan

Sebagian pedagang Islam tersebut ada yang menikah dengan wanita pribumi, terutama putri bangsawan atau putri raja. Dari pernikahan itu, mereka mendapat keturunan. Disebabkan pernikahan itulah, banyak keluarga bangsawan atau raja masuk Islam. Sehingga para pedagang tersebut menetap dan membentuk perkampungan muslim yang disebut Pekojan. Perkampungan Pekojan banyak dijumpai di beberapa kota di Indonesia hingga saat ini.

c. Pendidikan

Para mubalig mendirikan lembaga pendidikan Islam di beberapawilayah Nusantara. Lembaga pendidikan Islam ini berdiri sejak pertama kali Islam masuk di Indonesia. Nama lembaga-lembaga pendidikan Islam itu berbeda di tiap daerah. Di Aceh misalnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam di sana dikenal dengan nama meunasah, dayah, dan rangkang. Di Sumatra Barat, dikenal adanya surau. Di Kalimantan, dikenal dengan nama langgar. Sementara, di Jawa, dikenal dengan pondok pesantren. Di sanalah, berlangsung pembinaan, pendidikan dan kaderisasi bagi calon kiai dan ulama. Mereka tinggal di pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu menurut tingkatan kelasnya. Setelah menamatkan pendidikan pesantren, mereka kembali ke kampung masing-masing untuk menyebarkan Islam. Melalui cara inilah, Islam terus berkembang menyebar ke daerah-daerah yang terpencil.

d. Hubungan Sosial

Para mubalig yang menyebarkan Islam di Nusantara pandai dalam menjalin hubungan sosial dengan masyarakat. Mereka yang telah tinggal menetap di Nusantara aktif membaur dengan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial. Sikap mereka santun, memiliki kebersihan jasmani dan rohani, memiliki kepandaian yang tinggi, serta dermawan. Silaturahmi, bekerja sama, gotong-royong mereka lakukan bersama penduduk Nusantara dengan tujuan menarik simpati agar masuk Islam. Pada kesempatan tertentu, mereka menyampaikan ajaran Islam dengan cara bijaksana, tidak memaksa dan merendahkan. Islam mengajarkan persamaan hak dan derajat bagi semua manusia karena kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh kastanya melainkan karena ketakwaannya kepada Allah Swt. Islam juga mengajarkan umatnya untuk saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah dan saling meringankan beban orang lain. Dengan demikian, ajaran Islam makin mudah diterima oleh penduduk Nusantara.

e. Kesenian

Sebelum Islam datang, kesenian dan kebudayaan Hindu-Buddha telah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Kesenian tersebut tidak dihilangkan tetapi justru digunakan sebagai sarana dakwah. Cabang-cabang seni yang dikembangkan para penyebar Islam di antaranya adalah seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. Seni bangunan, misalnya masjid, mimbar, dan ukiran-ukirannya masih menunjukkan motif-motif seperti yang terdapat pada candi-candi Hindu atau Buddha. Motif tersebut dapat dilihat pada Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid Baiturrahman di Aceh. Demikian pula dengan pertunjukan wayang kulit. Mereka tidak pernah meminta upah untuk menggelar pertunjukan, penonton atau pengunjung gratis menyaksikan pertunjukan tersebut. Penonton hanya diminta agar mengikutinya mengucapkan “Dua Kalimat Syahadat”. Hal ini berartipara penonton telah masuk Islam. Sebagian besar cerita wayang kulit dikutip dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun sedikit demi sedikit dimasukkan nilai-nilai ajaran Islam.

3. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara

a. Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai yang terletak di pesisir timur laut Aceh, Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang. Lahirnya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia itu diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M. Sebagaimana diketahui, proses dakwah Islam di daerah-daerah pantai terjadi sejak abad ke-7 M. Kawasan Aceh yang strategis dan berada di pintu masuk Selat Malaka menjadikan Aceh sebagai tempat pertemuan para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara dan para pedagang dari luar negeri, khususnya para pedagang Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pengaruh Islam sangat kuat di Aceh dan diwujudkan dalam bentuk munculnya kerajaan Islam Samudera Pasai.

Salah satu bukti berdirinya Kerajaan Samudera Pasai adalah adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama Samudera Pasai, Sultan Malik Al-Saleh meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.

Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis. Selanjutnya, kerajaan Samudra Pasai mulai mundur dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Kerajaan Samudera Pasai berakhir pada tahun 1524 M.

b. Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Nama Aceh menanjak dengan cepat pada abad ke-17. Sejak itu, seluruh Aceh berada di bawah naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja. Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali  Mughayat Syah (1514-1528 M). Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan kekuasaannya ke Sumatra Timur.

Peletak dasar kebesaran kerajaanAceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Berbeda dengan Sultan Ali Mughayat Syah yang bekerja sama dengan Portugis, Sultan Alauddin Riayat Syah justru berusaha melawan Portugis. Dalam menghadapi tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Turki Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia.

Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kekuasaannya. Bandar Aceh dibuka menjadi pelabuhan internasional dengan jaminan pengamanan gangguan laut dari kapal perang Portugis. Penaklukan demi penaklukan tidak hanya dilakukan terhadap tanah Aceh dan sekitarnya, melainkan juga meluas jauh ke luar Aceh. Ini menjadikan kekuasaan Aceh membentang dari daerah Deli sampai dengan Semenanjung Malaka. Pada masanya, Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatra. Namun, usaha Aceh untuk menguasai Malaka yang diduduki oleh Portugis berulang kali mengalami kegagalan. Bahkan, untuk mengalahkan Portugis, Sultan bekerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris. Pada masa Sultan Iskandar Muda itulah, disusun suatu undang-undang tentang tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam.

Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Masa pemerintahannya tidak lama karena ia tidak memiliki kepribadian dan kecakapan yang kuat seperti Sultan Iskandar Muda. Penggantinya adalah permaisurinya sendiri, yaitu putri Sultan Iskandar Muda yang bernama Syafiatu’ddin. Sejak Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh terusmenerus mengalami kemunduran.

c. Kerajaan Demak

Kerajaan Demak terletak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama dan terbesar di pesisir utara Jawa. Wilayah Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari

Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dan Nusantara. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M. Beliau merupakan putra Prabu Kertabumi, seorang raja Majapahit. Setelah tahta ayahnya jatuh ke tangan Girindra Wardhana dari Keling (Daha) dan Demak menjadi terancam, terjadilah peperangan antara Demak dan Majapahit yang dipimpin oleh Girindra Wardhana dan keturunannya, Prabu Udara, hingga tahun 1518 M. Majapahit mengalami kekalahan dan pusat kekuasaan bergeser ke Demak. Sejak itu, Demak berkembang menjadi besar dan menguasai jalur perdagangan di Nusantara. Wilayah kekuasaan Demak cukup luas, meliputi daerah sepanjang pantai utara Pulau Jawa, pengaruhnya sampai ke Palembang, Jambi, Banjar dan Maluku.

Pada tahun 1518 M, Raden Patah digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus. Sebelum menduduki tahta, Pati Unus pernah memimpin armada laut Demak dalam menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M. Namun, penyerangan itu gagal. Sekembalinya dari Malaka, ia mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. Setelah Pati Unus naik tahta, ia tidak mencoba lagi menyerang Malaka. Ia tetap memperkuat pertahanan lautnya agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Sikap permusuhan Demak terhadap Portugis ternyata sangat merugikan Portugis dan Bandar Malaka karena Demak tidak lagi mengirimkan barang-barang dagangannya ke Malaka. Para pedagang dari negara lain juga enggan datang berdagang ke Bandar Malaka.

Kekuasaan Kerajaan Demak berakhir pada tahun 1568 M. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.

d. Kerajaan Pajang (1568-1586)

Kerajaan Pajang adalah penerus dari Kerajaan Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman Pulau Jawa. Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya yang disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demak kemudian hanya menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto.

Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan diangkat menjadi bupati di Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) sebagai imbalan atas keberhasilannya menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram, yang terkenal dengan nama Panembahan Senopati. Ternyata, ia tidak puas menjadi bupati. Ia ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa. Ia mulai memperkuat sistem pertahanan Mataram, baik dalam jumlah, kualitas prajurit maupun persenjataannya. Hadiwijaya yang mengetahui hal itu segera mengirimkan pasukannya ke Mataram. Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582 M. Namun, prajurit Pajang menderita kekalahan besar. Sultan Hadiwijaya menderita sakit dan akhirnya wafat. Setelah itu, terjadilah perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.

Pangeran Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) datang menyerbu Pajang untuk merebut tahta. Hal itu ditentang keras olah para bangsawan Pajang yang bekerja sama dengan Sutawijaya dari Mataram. Akhirnya, Pangeran Pangiri beserta pengikutnya dapat dikalahkan dan diusir dari Pajang.

Setelah suasana aman, Pangeran Benowo (putra Hadiwijaya) menyerahkan tahta kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Mataram (1586 M). Sejak itu, berdirilah Kerajaan Mataram. Pangeran Benowo diangkat menjadi bupati Pajang.

e. Kerajaan Mataram Islam (abad 17-19)

Kerajaan Mataram Islam berdiri pada tahun 1586 dan raja pertamanya adalah Sutawijaya yang bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kota Gede. Kerajaan Mataram mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M). Hal itu merupakan cerminan dari kebesaran jiwa, keberanian, keuletan, dan kecakapan serta kuatnya kepribadian Sultan Agung. Ia adalah seorang militer yang ulung, organisator yang berhasil, ahli politik, ahli sastra, ahli filsafat, dan sangat mementingkan urusan agama. Dalam sejarah Islam, Kesultanan Mataram memiliki peran yang penting dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan, dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, hingga mengembangkan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa. Pada masa Sultan Agung, banyak prestasi besar yang dicapai, antara lain sebagaimana berikut.

• Memperluas daerah kekuasaannya meliputi Jawa-Madura (kecuali Banten dan Batavia), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin. • Mengatur dan mengawasi wilayahnya yang luas itu langsung dari pemerintah pusatnya (Kota Gede). • Melakukan kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim. Mataram adalah pengekspor beras terbesar pada masa itu.

• Melakukan mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga mampu menundukkan daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di Batavia sampai dua kali. Andaikata Batavia tidak dipagari tembok-tembok yang tinggi, benteng-benteng yang kuat, dan persenjataan yang modern, sudah pasti Batavia jatuh ke tangan Mataram.

• Mengubah perhitungan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijriah) yang berdasarkan peredaran bulan (sejak tahun 1633 M).

• Menyusun karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Sastra Gending dan kitab suluk. Misalnya Suluk Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil

• Menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat-istiadat Jawa yang disebut Surya Alam.

f. Kerajaan Banjar

Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di Pulau Kalimantan, tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama adalah daerah di sekitar Kuin Utara (Banjarmasin sekarang). Namun, setelah keraton di Kuin dihancurkan oleh Belanda, pusat kerajaan dipindahkan ke Martapura. Kerajaan ini berdiri pada tahun 1526 M dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudra) sebagai sultan pertama.

Seiring dengan berjalannya waktu, Kerajaan Banjar makin berkembang dan bertambah luas wilayahnya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar meliputi Banjarmasin, Martapura, Tanah Laut, Margasari, Amandit, Alai, Marabahan, Banua Lima, serta daerah hulu Sungai Barito. Wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar makin luas hingga ke Tanah Bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau, Kutai, Kotawaringin, Landak, Sukadana dan Sambas. Semua wilayah tersebut adalah wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh

Pulau kalimantan).

Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905 M. Perang Banjar merupakan peperangan melawan Belanda. Raja terakhir adalah Sultan Muhammad Seman (1862 –1905 M). Beliau wafat pada saat melakukan pertempuran dengan Belanda di Puruk Cahu.

g. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada awalnya, di daerah Gowa, terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang- Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalili. Kemudian semua komunitas bergabung dan sepakat membentuk Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.

Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16, terdapat banyak kerajaan bercorak Hindu, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Pada tahun 1605, Sultan Alaudin (1591 – 1639 M) dari Gowa masuk Islam berkat adanya dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau. Sejak saat itu, kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam.

Islamnya raja Gowa segera diikuti oleh rakyatnya. Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat menguasai kerajaan-kerajaan lainnya.  Dua kerajaan itu lazim disebut KerajaanMakassar. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16 yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo”. Dua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam peribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapi satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar. Dari Makassar, agama Islam disebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pada pertengahan abad ke-17, Makassar atau Gowa berada pada puncak kejayaannya. Pada masa itu, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia bagian timur mulai Pulau Sangir Talaud sebelah utara, Kutai di bagian barat, serta daerah Marege (Australia) di bagian selatan, sudah merasakan pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa. Pemerintahan Kerajaan Gowa mencapai puncaknya terutama di bawah pemerintahan Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulssaid (1639-1653 M) atau lebih dikenal Sultan Malikussaid (1639-1653 M). Kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Gowa makin luas meliputi seluruh wilayah Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia. Kerajaan Gowa ketika itu telah mampu menjalin hubungan akrab dengan raja-raja di Nusantara. Tidak hanya itu, bahkan Gowa juga menjalin hubungan internasional dengan rajaraja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spanyol dan Mufti Besar Arabia.

Setelah memerintah Kerajaan Gowa selama 16 tahun, tanggal 5 November 1653, Sultan Malikussaid wafat. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin

yang menjadi Raja Gowa XVI (1654-1660 M) atau yang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin bersikap tegas dan tidak mau tunduk kepada Belanda. Pada tahun 1654-1655 M, terjadi pertempuran hebat antara Kerajaan Gowa dan Belanda di Kepulauan Maluku. Pada bulan April 1655, pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin

Sultan Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu. Sultan Hasanuddin juga berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan negara-negara kecil di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Bone. Raja Bone (Aru Palaka) diusir dari negerinya.

Setelah Belanda mengetahui bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan banyak menghasilkan beras, Belanda mulai mengirimkan utusannya ke Makassar untuk membuka hubungan dagang. Utusan itu diterima baik dan Belanda sering datang ke Makassar, tetapi hanya untuk berdagang. Setelah itu, mereka mulai membujuk SultanHasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempahrempah). Belanda juga menganjurkan agar Makassar tidak menjual berasnya kepada Portugis. Namun, semua ajakan Belanda itu ditolak.

Antara Makassar dan Belanda sering terjadi konflik karena persaingan dagang. Permusuhan Makassar dan Belanda diawali dengan terjadinya insiden penipuan pada tahun 1616 M. Saat itu, para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi ternyata mereka dilucuti sehingga terjadilah perkelahian seru yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Sejak itu, orang-orang Makassar membenci Belanda. Suatu ketika, orang-orang Makassar membunuh awak-awak kapal yang mendarat di Sumba. Orang-orang Belanda pun juga sering menyerang perahu-perahu Makassar yang berdagang ke Maluku. Keadaan makin meruncing dan akhirnya pecah menjadi perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, Belanda sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar sehingga Belanda memperalat Aru Palaka (Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.

Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap

perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.

h. Kerajaan Ternate

Kerajaan Ternate berdiri pada abad ke-13, ibu kotanya terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate di Maluku, juga telah berdiri kerajaan-kerajaan lain, yaitu Jaelolo, Tidore, Bacan,  dan Obi. Di antara kerajaan-kerajaan itu, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak menghasilkan rempah-rempah sehingga Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Jawa, Melayu, Cina, dan Arab. Selain didatangi para pedagang, Ternate juga memiliki kapal-kapal dagang yang sering berlayar ke daerah-daerah lain.

Menurut catatan orang Portugis, raja di Maluku yang mula-mula memeluk agama Islam adalah Raja Ternate, yaitu Gapi Baguna atau Sultan Marhum yang masuk Islam karena menerima pengaruh dakwah dari Datuk Maulana Husin. Ia memerintah tahun 1465-1485 M. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya, Zainal Abidin. Pada tahun 1495 M, Zainal Abidin mewakilkan pemerintahannya kepada keluarganya karena ia memperdalam pengetahuan agama Islam kepada Sunan Giri dan kemudian ke Malaka. Setelah kembali ke Ternate, Zainal Abidin sangat giat menyebarkan agama Islam ke pulaupulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filipina Selatan.

Zainal Abidin hanya memerintah sampai tahun 1500 M. Secara berturut-turut yang kemudian memerintah di Ternate adalah Sultan Sirullah, Sultan Khairun, dan Sultan Baabullah. Sejak pemerintahan Sultan Khairun, di Maluku telah berdatangan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Di antara mereka, terjadi persaingan yang ketat sehingga akhimya terjadi konflik. Bangsa Portugis berhasil mendirikan benteng di Ternate, yaitu Benteng Sao Paulo dengan dalih bahwa benteng tersebut dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore yang bersekutu dengan Spanyol. Namun, lambat laun, bangsa Portugis melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan kebencian rakyat Ternate. Misalnya, melakukan kegiatan monopoli perdagangan, bersikap angkuh dan kasar, serta ikut campur masalah intern Kesultanan Ternate.

Penguasa Ternate yang menentang Portugis adalah Sultan Khairun yang memerintah pada tahun 1550 M sampai 1570 M Ia secara tegas menolak kehadiran para misionaris Portugis di Ternate. Hal itu membuat Portugis khawatir akan terusir dari bumi Ternate sehingga dengan dalih mengadakan perjanjian perdamaian, Portugis di bawah pimpinan De Mesqiuta, membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570 M. Rakyat Ternate di bawah pimpinan putra Sultan Khairun, yaitu Sultan Baabullah, akhirnya mengangkat senjata melawan bangsa Portugis. Setelah benteng Portugis dikepung selama lima tahun, pada tahun 1575 M, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Ternate.

Di bawah pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mencapai masa kejayaannya. Wilayah dan pengaruhnya sangat luas meliputi daerah Mindanau (Filipina), seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Karena wilayahnya yang luas serta pelayaran dan perdagangannya yang maju, Sultan Baabullah mendapat gelar Yang Dipertuan di 72 pulau. Untuk menjaga keamanan wilayahnya, Ternate memiliki 100 kapal kora-kora. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas. Kerajaan Ternate telah berhasil membangun armada laut yang cukup kuat sehingga mampu melindungi wilayahnya yang cukup luas tersebut.

Setelah Sultan Baabullah wafat, Kerajaan Ternate mulai melemah. Pada tahun 1580 M. Kerajaan Spanyol dan Portugal menyerang Ternate. Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Filipina. Kekalahan demi kekalahan yang dialami memaksa Ternate meminta bantuan Belanda. Belanda bersedia membantu dengan syarat VOC diberi hak monopoli perdagangan di Maluku. Akhirnya Kerajaan Ternate berhasil mengalahkan Spanyol, tetapi dengan imbalan yang sangat mahal. Belanda secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 M, Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku. Pada tahun 1607 M pula, Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di Nusantara.

Makin lama kekuasan dan pengaruh Belanda di Ternate semakin kuat. Bersamaan dengan itu pula, terjadi pemberontakan dan konflik internal di Kerajaan Ternate sehingga Kerajaan Ternate mulai melemah dan akhirnya runtuh.

i. Kerajaan Tidore

Kerajaan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara. Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik tahtasekitar tahun 1081 M. Baru pada raja yang ke-9, yaitu Cirililiati yang kembali ingin memeluk agama Islam, berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar kerajaan lainnya, ia mendapat gelar Sultan Jamaluddin. Putra sulungnya juga masuk Islam karena dakwah Syekh Mansur. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore sekitar tahun 1471 M. (menurut catatan Portugis). Setelah Ternate berhasil meluaskan wilayahnya dan membentuk persekutuan yang disebut Uli Lima, Kerajaan Tidore juga berhasil memperluas pengaruhnya ke Halmahera, Pulau Raja Ampat, Seram Timur, dan Papua yang dipersatukan dalam persekutuan Uli Siwa. Demikian juga Kerajaan Bacan dan Jailolo juga tenggelam dalam pengaruh Kerajaan Tidore.

Kerajaan Tidore merupakan penghasil cengkih yang besar dan sangat laku di pasaran Eropa. Sehingga Akibatnya banyak bangsa Eropa yang datang ke Tidore untuk mencari cengkih, misalnya bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.

Pada awalnya ,Kerajaan Ternate dan Tidore dapat hidup berdampingan dan tidak pernah terjadi konflik. Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah dua kerajaan yang memiliki peran penting dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang ingin menguasai Maluku. Seiring berjalannya waktu, kedua kerajaan ini justru bersaing memperebutkan kekuasaan politik di Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempahrempah, seperti pala dan cengkih, sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Wilayah Maluku bagian timur dan pantai-pantai Papua dikuasai oleh kerajaan Tidore, sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan sampai ke Flores dan Mindanao (Filipina) dikuasai oleh Kerajaan Ternate. Namun, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Maluku, mulailah terjadi pertentangan karena Ternate dan Tidore bersaing menawarkan harga rempah-rempah, serta pendirian benteng yang dihadiahkan kepada partner dagang sebagai penghargaan.

Pada tahun 1512 M, bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Maluku. Portugis pada saat itu memilih bersahabat dengan Ternate, sedangkan Spanyol yang datang kemudian bersahabat dengan Sultan Tidore. Sejak saat itulah, benih-benih permusuhan mulai timbul.

Pada tahun 1529 M. Portugis yang dibantu oleh Ternate dan Bacan menyerang Tidore dan Spanyol. Dalam peperangan ini, Portugis mengalami kemenangan sehingga Portugis dapat menguasai perdagangan rempah-rempah di seluruh Maluku.

Setelah menguasai Maluku, Portugis mulai melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat Maluku. Kedua kerajaan tersebut akhirnya sadar bahwa keduanya harus bersatu untuk mengusir penjajahan Portugis di Maluku. Berkat kerja sama kedua kerajaan tersebut, akhirnya, Portugis mengalami kekalahan tahun 1575 M. Dan menyingkir ke Ambon. Pada tahun 1605 M. Belanda berhasil mendesak Portugis di Ambon dan menguasainya.

Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1789-1805 M), yaitu seorang penguasa yang berani dan cerdas. Pada tahun 1801 M, beliau menyerang Ternate sehingga Ternate dan Tidore berhasil dipersatukan. Di samping itu, Sultan Nuku berhasil mengadu domba antara Belanda dan Inggris sehingga Belanda dapat diusir dari Tidore. Setelah Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate, Inggris tidak mendapatkan apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sejak itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Pelayaran dan perdagangan maju pesat sehingga waktu itu Maluku mengalami zaman keemasan dan tidak terikat oleh bangsa mana pun. Wilayahnya cukup luas, yaitu meliputi Seram, Halmahera, Kepulauan Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya sendiri, Zainal Abidin (1805-1810 M).

Kisah Teladan

Kisah Dakwah Uje

Ustaz Jefri Al-Buchori lahir di Jakarta, anak ketiga dari pasangan Ismail Modal (alm) dan Tatu Mulyana. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Pangeran Jayakarta di mana lingkungan sekitarnya terdapat banyak bar dan diskotek. Jefri tidak pernah merasakan kelas 4 sekolah dasar karena pada saat bersekolah di SD 07 Karang Anyar, ia lompat kelas dari kelas 3 ke kelas 5. Sejak kecil, ia telah menunjukkan ketertarikan pada mata pelajaran Agama dan kesenian. Setamat SD, Jefri dan kedua kakaknya bersekolah di Pesantren modern di Daar el-Qolam Gintung, Balaraja, Tangerang. Sejak kecil, Jefri telah menunjukkan bakat untuk tampil dengan meraih prestasi MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) hingga tingkat provinsi.

Uje, demikian biasa Ustaz Jefri disapa, pernah berkisah bahwa masa mudanya kerap diidentikkan dengan narkoba, disko, dan bermain bola bilyar. “Gue itu dulu dutanya setan di dunia.” Selepas Madrasah (setingkat SMA), ia melanjutkan pada Akademi Broadcasting di Rawamangun, Jakarta, namun tidak selesai kuliah dikarenakan lebih mementingkan bermain bilyar.

Kariernya di bidang dakwah dimulai pada tahun 2000 saat menggantikan kakaknya yang menjadi imam di sebuah masjid di Singapura. Pekerjaan kakaknya untuk memberikan khutbah di masjid-masjid dekat rumah di wilayah Pangeran Jayakarta, Jakarta diberikan pada Uje. Pada satu kesempatan saat menjadi imam, jamaah masjid bubar menolak dipimpin oleh tukang mabok.

Uje sebagai pendakwah mulai dikenal orang secara luas pada tahun 2002 untuk ceramah dan doa dalam berbagai acara di televisi. Dalam berdakwah, Uje berpakaian koko yang modis menyesuaikan selera anak muda. Dengan gaya dakwahnya tersebut, Ustaz Uje berhasil mengambil hati dan perhatian para kawula muda.

(Sumber: diolah dari Wikipedia)

Rangkuman

1. Islam masuk di Nusantara melalui jalur perdagangan berlangsung dengan cara-cara damai.

2. Agama Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Namun, agama Islam mulai menyebar sekitar abad ke-13 M.

3. Menurut para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi menjadi: teori Mekah, teori Gujarat, teori Persia, dan teori Cina.

4. Kerajaan Samudra Pasai di Aceh merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.

5. Proses penyebaran dan perkembangan agama dan kebudayaan Islam dilakukan melalui: perdagangan, perkawinan, pendidikan, hubungan sosial, dan kesenian.

6. Kerajaan Islam di Sumatra yaitu: Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh.

7. Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Kerajaan Demak. Kerajaan Demak diteruskan Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam.

8. Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam di Kalimantan.

9. Kerajaan Islam di Sulawesi, yaitu Kerajaan Gowa-Tallo, dan di Maluku Utara terdapat Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore.

 Sumber : ( Buku PAI dan Budi Pekerti Kelas IX Revisi 2018 Kemendikbud )


0 comments:

Post a Comment