Pernahkah
kamu menghadiri acara tabligh akbar atau pengajian umum? Jika pernah, tentu di
sana ada seorang mubalig atau dai yang sedang berceramah menyampaikan ajaran
Islam. Para mubalig dan dai tersebut berceramah dengan gaya dan ciri khasnya
masing-masing. Tujuannya agar menarik perhatian hadirin sehingga mereka
memahami materi yang disampaikan. Materi yang sudah dipahami tersebut hendaknya
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Islam mengajarkan bahwa tugas dakwah
bukan hanya dibebankan kepada mubalig. Setiap orang Islam memiliki kewajiban untuk
berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain. Dakwah bukan untuk
mencari uang, bukan pula untuk mencari popularitas, tetapi semata-mata untuk
mencari rida Allah Swt.
Demikian
pula yang dilakukan oleh para penyebar Islam di Nusantara. Mereka berdakwah
dengan penuh semangat dan keikhlasan. Samudra luas bukan penghalang untuk
berdakwah, justru sebaliknya menjadi pemacu semangat. Sambil berdagang, para
penyebar Islam tersebut datang ke
Nusantara
untuk berdakwah. Kedatangan mereka disambut hangat dan diterima dengan baik.
Hal ini disebabkan dakwah yang mereka lakukan adalah dakwah dengan cara-cara
damai, bukan dengan kekerasan. Bagi Islam, tidak ada paksaan dalam beragama
karena telah tampak jelas mana
yang
haq dan batil.
Apakah
para penyebar Islam di Nusantara tidak menghadapi hambatan dan tantangan selama
berdakwah di Nusantara? Jawabannya tentu ada. Setiap dakwah pasti ada hambatan
dan tantangan, tetapi semua itu dapat diatasi dengan bekal keteguhan iman,
ilmu, kecerdasan, dan akhlak mulia. Ajaran Islam mudah diterima oleh penduduk
Nusantara. Hal ini dikarenakan Islam adalah agama yang nyata kebenarannya,
rasional, mengajarkan kedamaian dan persamaan derajat.
Keberhasilan
dakwah di Nusantara dapat dinikmati hingga saat ini. Bahkan, saat ini,
Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Kita harus meneladani
kegigihan mereka dalam berdakwah. Oleh karena itu, kita harus berdakwah dengan
cara kita masing-masing. Sebagai pelajar, cara kamu berdakwah tentunya dengan
belajar tekun dan berakhlak mulia kepada siapa pun. Tunjukkanlah bahwa kamu
adalah generasi muda Islam yang tangguh, cerdas, dan berkarakter.
Mutiara Khasanah Islam
1.
Alur Perjalanan Dakwah di Nusantara
Indonesia
dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Padahal jika
kita melihat sejarah lahirnya agama Islam yang dibawa para nabi, Indonesia
tidak begitu dikenal. Namun, berkat kegigihan para dai dan ulama, perkembangan
Islam di Nusantara begitu pesat sampai saat ini. Lalu, bagaimanakah alur
perjalanan dakwah di Nusantara?
Sejak
zaman Prasejarah, penduduk Nusantara dikenal sebagai pelayarpelayar tangguh
yang sanggup mengarungi samudra lepas. Menurut catatan sejarah, pada awal
Masehi, sudah ada jalur pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia
dengan berbagai daerah di Asia Tenggara. Wilayah Nusantara yang menjadi
lintasan penting perdagangan adalah wilayah Nusantara bagian barat, yakni
Malaka dan sekitarnya. Daerah tersebut sudah terkenal sejak zaman dahulu karena
kaya akan hasil bumi. Daerah tersebut kemudian menjadi perlintasan para
pedagang Cina dan India. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatradan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang dari Lamuri
(Aceh), Barus, Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada abad
ke-7 Masehi (abad ke-1 Hijriyah). Malaka menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan
dan pelayaran. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi sekaligus berdakwah
menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia
ini sejak abad ke-1 Hijriyah.
Para
ahli sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan.
Sebelum Islam datang, Nusantara berada dalam pengaruh agama Hindu-Buddha.
Pengaruh-pengaruh tersebut berdampak pada pola hidup masyarakat di Indonesia.
Namun, dalam perkembangannya pengaruh Islam jauh lebih kuat daripada pengaruh
agama Hindu-Buddha.
Masuknya
agama Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan berlangsung dengan cara
damai. Ajaran Islam mudah diterima dan mendapat perhatian dari penduduk
Nusantara. Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa agama Islam sudah masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Namun, keberadaan para pemeluk ajaran Islam menjadi
jelas pada abad ke-13 yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Samudra Pasai di
Aceh sebagai kerajaan Islam yang pertama.
Proses
masuknya Islam di Indonesia berjalan secara bertahap dan melalui banyak cara.
Menurut para ahli sejarah, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia
adalah sebagai berikut.
a)
Teori Mekah
Menurut
teori Mekah, proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau
Arab. Terjadi pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Para pedagang
dari Timur Tengah memiliki misi dagang dan dakwah sekaligus. Bahkan, motivasi
dakwah menjadi pendorong utama mereka datang ke Nusantara. Orangorang Arab yang
datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad saw. yang menggunakan
gelar “sayid” atau “syarif” di depan namanya. Menurut para ahli sejarah, jalur
perdagangan antara Indonesia Arab telah berlangsung jauh sebelum Masehi.
b)
Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat adalah sebuah wilayah di
India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Menurut teori ini, orang-orang
Arab bermazhab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal
Hijriyah (abad ke-7 Masehi). Namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia bukanlah
dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam
dan berdagang ke Nusantara. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka
hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab.
c)
Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (sekarang Iran). Sebagai buktinya, ada kesamaan budaya
dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi
tersebut antara lain adalahtradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro.
d)
Teori Cina
Menurut
teori Cina, proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di tanah Jawa)
berasal dari para pedagang Cina. Mereka telah berhubungan dagang dengan
penduduk Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia, yakni sejak masa
Hindu-Buddha. Ajaran Islam sendiri telah sampai di Cina pada abad ke-7 M. Pada
masa Dinasti Tang (618-960) di daerah Guanzhou, Kanton, Zhang-zhao, dan pesisir
Cina selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Sebagai pembuktian teori
Cina ini, bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro
Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina
bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Bukti lainnya adalah adanya
masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Cina atau Tiongkok di berbagai
tempat di Pulau Jawa. Pelabuhan penting seperti di Gresik, misalnya, menurut
catatancatatan Cina, diduduki pertama kali oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua
teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak
ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam setiap teori tersebut. Semua
teori di atas semakin memperkaya khazanah keilmuan tentang sejarah Islam di
Nusantara.
Agama
Islam berkembang di Indonesia disebarkan oleh berbagai golongan, yakni para pedagang,
mubalig, sufi, dan para wali. Para wali menyebarkan Islam di Nusantara,
khususnya di tanah Jawa. Di antara sekian banyak wali, yang terkenal adalah
Wali Songo (Wali Sembilan). Berikut ini adalah uraian setiap Wali Songo.
1).
Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang diduga berasal dari
Persia dan berkedudukan di Gresik.
2).
Sunan Ampel atau Raden Rahmat, berkedudukan di Ampel, Surabaya.
3).
Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden Rahmat (Sunan
Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban.
4).
Sunan Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih yang semula bernama Raden
Paku, berkedudukan di Bukit Giri, dekat Gresik.
5).
Sunan Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari Sunan Ampel dan berkedudukan di
Drajat, dekat Sedayu, Surabaya.
6).
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Syeikh Nurullah berasal dari
Pasai, sebelah utara Aceh yang berkedudukan di Gunung Jati, Cirebon.
7).
Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan
Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus.
8).
Sunan Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid. Beliau adalah putra Tumenggung
Wilatikta, Bupati Tuban yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
9).
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga berkedudukan
di Gunung Muria, Kudus.
2.
Cara-Cara Dakwah di Nusantara
Para
da’i dan mubalig menyebarkan Islam di Nusantara dengan caracara sebagai
berikut.
a.
Perdagangan
Proses
penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dilakukan oleh para pedagang muslim
pada abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang tersebut berasal dari Arab,
Persia, dan India. Jalur perdagangan saat itu menghubungkan Asia Barat, Asia
Timur, dan Asia Tenggara. Para pedagang muslim menggunakan kesempatan itu untuk
berdakwah menyebarkan agama Islam. Mereka memiliki akhlak mulia, santun, dapat
dipercaya dan jujur. Hal inilah yang menjadi daya tarik sehingga banyak
penduduk Nusantara secara sukarela masuk Islam. Banyak pedagang muslim yang
singgah dan bertempat tinggal di Indonesia. Sebagian ada yang tinggal sementara
ada pula yang menetap di Indonesia. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang
menjadi perkampungan muslim.
b.
Perkawinan
Sebagian
pedagang Islam tersebut ada yang menikah dengan wanita pribumi, terutama putri bangsawan
atau putri raja. Dari pernikahan itu, mereka mendapat keturunan. Disebabkan
pernikahan itulah, banyak keluarga bangsawan atau raja masuk Islam. Sehingga para
pedagang tersebut menetap dan membentuk perkampungan muslim yang disebut
Pekojan. Perkampungan Pekojan banyak dijumpai di beberapa kota di Indonesia hingga
saat ini.
c.
Pendidikan
Para
mubalig mendirikan lembaga pendidikan Islam di beberapawilayah Nusantara.
Lembaga pendidikan Islam ini berdiri sejak pertama kali Islam masuk di
Indonesia. Nama lembaga-lembaga pendidikan Islam itu berbeda di tiap daerah. Di
Aceh misalnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam di sana dikenal dengan nama
meunasah, dayah, dan rangkang. Di Sumatra Barat, dikenal adanya surau. Di
Kalimantan, dikenal dengan nama langgar. Sementara, di Jawa, dikenal dengan pondok
pesantren. Di sanalah, berlangsung pembinaan, pendidikan dan kaderisasi bagi
calon kiai dan ulama. Mereka tinggal di pondok atau asrama dalam jangka waktu
tertentu menurut tingkatan kelasnya. Setelah menamatkan pendidikan pesantren,
mereka kembali ke kampung masing-masing untuk menyebarkan Islam. Melalui cara inilah,
Islam terus berkembang menyebar ke daerah-daerah yang terpencil.
d.
Hubungan Sosial
Para
mubalig yang menyebarkan Islam di Nusantara pandai dalam menjalin hubungan
sosial dengan masyarakat. Mereka yang telah tinggal menetap di Nusantara aktif
membaur dengan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial. Sikap mereka
santun, memiliki kebersihan jasmani dan rohani, memiliki kepandaian yang
tinggi, serta dermawan. Silaturahmi, bekerja sama, gotong-royong mereka lakukan
bersama penduduk Nusantara dengan tujuan menarik simpati agar masuk Islam. Pada
kesempatan tertentu, mereka menyampaikan ajaran Islam dengan cara bijaksana,
tidak memaksa dan merendahkan. Islam mengajarkan persamaan hak dan derajat bagi
semua manusia karena kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh kastanya melainkan
karena ketakwaannya kepada Allah Swt. Islam juga mengajarkan umatnya untuk
saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah
dan saling meringankan beban orang lain. Dengan demikian, ajaran Islam makin
mudah diterima oleh penduduk Nusantara.
e.
Kesenian
Sebelum
Islam datang, kesenian dan kebudayaan Hindu-Buddha telah mengakar kuat di
tengah-tengah masyarakat. Kesenian tersebut tidak dihilangkan tetapi justru
digunakan sebagai sarana dakwah. Cabang-cabang seni yang dikembangkan para
penyebar Islam di antaranya adalah seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni
tari, seni musik dan seni sastra. Seni bangunan, misalnya masjid, mimbar, dan
ukiran-ukirannya masih menunjukkan motif-motif seperti yang terdapat pada
candi-candi Hindu atau Buddha. Motif tersebut dapat dilihat pada Masjid Agung Demak,
Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid Baiturrahman
di Aceh. Demikian pula dengan pertunjukan wayang kulit. Mereka tidak pernah
meminta upah untuk menggelar pertunjukan, penonton atau pengunjung gratis menyaksikan
pertunjukan tersebut. Penonton hanya diminta agar mengikutinya mengucapkan “Dua
Kalimat Syahadat”. Hal ini berartipara penonton telah masuk Islam. Sebagian
besar cerita wayang kulit dikutip dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun
sedikit demi sedikit dimasukkan nilai-nilai ajaran Islam.
3.
Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara
a.
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai yang terletak di
pesisir timur laut Aceh, Kabupaten Lhokseumawe atau Aceh Utara sekarang. Lahirnya
kerajaan Islam yang pertama di Indonesia itu diperkirakan mulai awal atau
pertengahan abad ke-13 M. Sebagaimana diketahui, proses dakwah Islam di
daerah-daerah pantai terjadi sejak abad ke-7 M. Kawasan Aceh yang strategis dan
berada di pintu masuk Selat Malaka menjadikan Aceh sebagai tempat pertemuan para
pedagang dari berbagai daerah di Nusantara dan para pedagang dari luar negeri,
khususnya para pedagang Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau
pengaruh Islam sangat kuat di Aceh dan diwujudkan dalam bentuk munculnya
kerajaan Islam Samudera Pasai.
Salah
satu bukti berdirinya Kerajaan Samudera Pasai adalah adanya nisan kubur terbuat
dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja
pertama Samudera Pasai, Sultan Malik Al-Saleh meninggal pada bulan Ramadhan
tahun 696 H yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Pada
tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis. Selanjutnya, kerajaan
Samudra Pasai mulai mundur dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Kerajaan
Samudera Pasai berakhir pada tahun 1524 M.
b.
Kerajaan Aceh
Kerajaan
Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar.
Nama Aceh menanjak dengan cepat pada abad ke-17. Sejak itu, seluruh Aceh berada
di bawah naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja. Sultan pertama yang
memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M). Ali Mughayat
Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan
Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap
dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan kekuasaannya ke Sumatra
Timur.
Peletak
dasar kebesaran kerajaanAceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
Al-Qahar. Berbeda dengan Sultan Ali Mughayat Syah yang bekerja sama dengan
Portugis, Sultan Alauddin Riayat Syah justru berusaha melawan Portugis. Dalam menghadapi
tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Turki
Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia.
Pada
masa pemerintahan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kekuasaannya.
Bandar Aceh dibuka menjadi pelabuhan internasional dengan jaminan pengamanan
gangguan laut dari kapal perang Portugis. Penaklukan demi penaklukan tidak
hanya dilakukan terhadap tanah Aceh dan sekitarnya, melainkan juga meluas jauh
ke luar Aceh. Ini menjadikan kekuasaan Aceh membentang dari daerah Deli sampai
dengan Semenanjung Malaka. Pada masanya, Aceh menguasai seluruh pelabuhan di
pesisir timur dan barat Sumatra. Namun, usaha Aceh untuk menguasai Malaka yang
diduduki oleh Portugis berulang kali mengalami kegagalan. Bahkan, untuk
mengalahkan Portugis, Sultan bekerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda
dan Inggris. Pada masa Sultan Iskandar Muda itulah, disusun suatu undang-undang
tentang tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam.
Sultan
Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh menantunya, yaitu
Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). Masa pemerintahannya tidak lama karena ia
tidak memiliki kepribadian dan kecakapan yang kuat seperti Sultan Iskandar
Muda. Penggantinya adalah permaisurinya sendiri, yaitu putri Sultan Iskandar
Muda yang bernama Syafiatu’ddin. Sejak Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh
terusmenerus mengalami kemunduran.
c.
Kerajaan Demak
Kerajaan
Demak terletak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan kerajaan
Islam pertama dan terbesar di pesisir utara Jawa. Wilayah Demak sebelumnya
merupakan kadipaten dari
Kerajaan
Majapahit. Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di
Pulau Jawa dan Nusantara. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun
1478 M. Beliau merupakan putra Prabu Kertabumi, seorang raja Majapahit. Setelah
tahta ayahnya jatuh ke tangan Girindra Wardhana dari Keling (Daha) dan Demak
menjadi terancam, terjadilah peperangan antara Demak dan Majapahit yang dipimpin
oleh Girindra Wardhana dan keturunannya, Prabu Udara, hingga tahun 1518 M.
Majapahit mengalami kekalahan dan pusat kekuasaan bergeser ke Demak. Sejak itu,
Demak berkembang menjadi besar dan menguasai jalur perdagangan di Nusantara.
Wilayah kekuasaan Demak cukup luas, meliputi daerah sepanjang pantai utara
Pulau Jawa, pengaruhnya sampai ke Palembang, Jambi, Banjar dan Maluku.
Pada
tahun 1518 M, Raden Patah digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus.
Sebelum menduduki tahta, Pati Unus pernah memimpin armada laut Demak dalam
menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M. Namun, penyerangan itu gagal.
Sekembalinya dari Malaka, ia mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. Setelah Pati Unus
naik tahta, ia tidak mencoba lagi menyerang Malaka. Ia tetap memperkuat
pertahanan lautnya agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Sikap permusuhan Demak
terhadap Portugis ternyata sangat merugikan Portugis dan Bandar Malaka karena
Demak tidak lagi mengirimkan barang-barang dagangannya ke Malaka. Para pedagang
dari negara lain juga enggan datang berdagang ke Bandar Malaka.
Kekuasaan
Kerajaan Demak berakhir pada tahun 1568 M. Joko Tingkir memindahkan pusat
pemerintahan dari Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.
d.
Kerajaan Pajang (1568-1586)
Kerajaan
Pajang adalah penerus dari Kerajaan Demak. Kesultanan yang terletak di daerah
Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah
pedalaman Pulau Jawa. Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka
Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir
bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya yang disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat
pengakuan dari adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Demak kemudian
hanya menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto.
Pada
waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan diangkat menjadi
bupati di Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) sebagai imbalan atas
keberhasilannya menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan
diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada
tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram, yang terkenal
dengan nama Panembahan Senopati. Ternyata, ia tidak puas menjadi bupati. Ia
ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa. Ia mulai memperkuat sistem
pertahanan Mataram, baik dalam jumlah, kualitas prajurit maupun
persenjataannya. Hadiwijaya yang mengetahui hal itu segera mengirimkan
pasukannya ke Mataram. Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582 M. Namun,
prajurit Pajang menderita kekalahan besar. Sultan Hadiwijaya menderita sakit
dan akhirnya wafat. Setelah itu, terjadilah perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.
Pangeran
Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) datang menyerbu Pajang
untuk merebut tahta. Hal itu ditentang keras olah para bangsawan Pajang yang
bekerja sama dengan Sutawijaya dari Mataram. Akhirnya, Pangeran Pangiri beserta
pengikutnya dapat dikalahkan dan diusir dari Pajang.
Setelah
suasana aman, Pangeran Benowo (putra Hadiwijaya) menyerahkan tahta kepada
Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Mataram
(1586 M). Sejak itu, berdirilah Kerajaan Mataram. Pangeran Benowo diangkat
menjadi bupati Pajang.
e.
Kerajaan Mataram Islam (abad 17-19)
Kerajaan
Mataram Islam berdiri pada tahun 1586 dan raja pertamanya adalah Sutawijaya
yang bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya Panglima Perang dan
Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah
tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kota Gede. Kerajaan Mataram mencapai puncak kebesarannya
pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M). Hal itu
merupakan cerminan dari kebesaran jiwa, keberanian, keuletan, dan kecakapan
serta kuatnya kepribadian Sultan Agung. Ia adalah seorang militer yang ulung,
organisator yang berhasil, ahli politik, ahli sastra, ahli filsafat, dan sangat
mementingkan urusan agama. Dalam sejarah Islam, Kesultanan Mataram memiliki
peran yang penting dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara. Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah
kekuasaan, dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya, hingga
mengembangkan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa. Pada masa Sultan Agung,
banyak prestasi besar yang dicapai, antara lain sebagaimana berikut.
•
Memperluas daerah kekuasaannya meliputi Jawa-Madura (kecuali Banten dan
Batavia), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin. • Mengatur dan mengawasi
wilayahnya yang luas itu langsung dari pemerintah pusatnya (Kota Gede). •
Melakukan kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim. Mataram adalah
pengekspor beras terbesar pada masa itu.
•
Melakukan mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga mampu menundukkan
daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di
Batavia sampai dua kali. Andaikata Batavia tidak dipagari tembok-tembok yang
tinggi, benteng-benteng yang kuat, dan persenjataan yang modern, sudah pasti
Batavia jatuh ke tangan Mataram.
•
Mengubah perhitungan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijriah) yang
berdasarkan peredaran bulan (sejak tahun 1633 M).
•
Menyusun karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Sastra Gending dan kitab
suluk. Misalnya Suluk Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada
abdi raja majapahit yang bernama Wujil
•
Menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam
dengan adat-istiadat Jawa yang disebut Surya Alam.
f.
Kerajaan Banjar
Kerajaan
Banjar adalah kerajaan Islam di Pulau Kalimantan, tepatnya di Provinsi
Kalimantan Selatan saat ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama adalah daerah
di sekitar Kuin Utara (Banjarmasin sekarang). Namun, setelah keraton di Kuin
dihancurkan oleh Belanda, pusat kerajaan dipindahkan ke Martapura. Kerajaan ini
berdiri pada tahun 1526 M dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudra) sebagai
sultan pertama.
Seiring
dengan berjalannya waktu, Kerajaan Banjar makin berkembang dan bertambah luas wilayahnya.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar meliputi Banjarmasin, Martapura, Tanah Laut, Margasari,
Amandit, Alai, Marabahan, Banua Lima, serta daerah hulu Sungai Barito. Wilayah
kekuasaan Kerajaan Banjar makin luas hingga ke Tanah Bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau,
Kutai, Kotawaringin, Landak, Sukadana dan Sambas. Semua wilayah tersebut adalah
wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang,
Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh
Pulau
kalimantan).
Kerajaan
Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905 M. Perang
Banjar merupakan peperangan melawan Belanda. Raja terakhir adalah Sultan
Muhammad Seman (1862 –1905 M). Beliau wafat pada saat melakukan pertempuran
dengan Belanda di Puruk Cahu.
g.
Kerajaan Gowa-Tallo
Pada
awalnya, di daerah Gowa, terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama
Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang- Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan
Kalili. Kemudian semua komunitas bergabung dan sepakat membentuk Kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat
di daerah Sulawesi Selatan.
Di
Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16, terdapat banyak kerajaan bercorak Hindu,
tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Pada
tahun 1605, Sultan Alaudin (1591 – 1639 M) dari Gowa masuk Islam berkat adanya
dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau. Sejak saat itu,
kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam.
Islamnya
raja Gowa segera diikuti oleh rakyatnya. Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat
menguasai kerajaan-kerajaan lainnya. Dua
kerajaan itu lazim disebut KerajaanMakassar. Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya
pada abad ke-16 yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo”.
Dua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam peribahasa “Rua
Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapi satu rakyat”). Oleh karena itu,
kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar. Dari Makassar, agama Islam
disebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Pada
pertengahan abad ke-17, Makassar atau Gowa berada pada puncak kejayaannya. Pada
masa itu, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia bagian timur
mulai Pulau Sangir Talaud sebelah utara, Kutai di bagian barat, serta daerah
Marege (Australia) di bagian selatan, sudah merasakan pengaruh kekuasaan
Kerajaan Gowa. Pemerintahan Kerajaan Gowa mencapai puncaknya terutama di bawah
pemerintahan Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan
Malikulssaid (1639-1653 M) atau lebih dikenal Sultan Malikussaid (1639-1653 M).
Kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Gowa makin luas meliputi seluruh wilayah
Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia. Kerajaan Gowa ketika itu
telah mampu menjalin hubungan akrab dengan raja-raja di Nusantara. Tidak hanya itu,
bahkan Gowa juga menjalin hubungan internasional dengan rajaraja dan pembesar
dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja
Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spanyol dan Mufti Besar
Arabia.
Setelah
memerintah Kerajaan Gowa selama 16 tahun, tanggal 5 November 1653, Sultan
Malikussaid wafat. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng
Mattawang Sultan Hasanuddin
yang
menjadi Raja Gowa XVI (1654-1660 M) atau yang lebih dikenal dengan Sultan
Hasanuddin. Sultan Hasanuddin bersikap tegas dan tidak mau tunduk kepada
Belanda. Pada tahun 1654-1655 M, terjadi pertempuran hebat antara Kerajaan Gowa
dan Belanda di Kepulauan Maluku. Pada bulan April 1655, pasukan Kerajaan Gowa
yang dipimpin
Sultan
Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua
tentara Belanda di negeri itu. Sultan Hasanuddin juga berhasil memperluas
daerah kekuasaannya dengan menundukkan negara-negara kecil di Sulawesi Selatan,
termasuk Kerajaan Bone. Raja Bone (Aru Palaka) diusir dari negerinya.
Setelah
Belanda mengetahui bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan banyak menghasilkan
beras, Belanda mulai mengirimkan utusannya ke Makassar untuk membuka hubungan
dagang. Utusan itu diterima baik dan Belanda sering datang ke Makassar, tetapi hanya
untuk berdagang. Setelah itu, mereka mulai membujuk SultanHasanuddin untuk bersama-sama
menyerbu Banda (pusat rempahrempah). Belanda juga menganjurkan agar Makassar
tidak menjual berasnya kepada Portugis. Namun, semua ajakan Belanda itu
ditolak.
Antara
Makassar dan Belanda sering terjadi konflik karena persaingan dagang.
Permusuhan Makassar dan Belanda diawali dengan terjadinya insiden penipuan pada
tahun 1616 M. Saat itu, para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan
di atas kapal VOC, tetapi ternyata mereka dilucuti sehingga terjadilah
perkelahian seru yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Sejak itu, orang-orang
Makassar membenci Belanda. Suatu ketika, orang-orang Makassar membunuh
awak-awak kapal yang mendarat di Sumba. Orang-orang Belanda pun juga sering
menyerang perahu-perahu Makassar yang berdagang ke Maluku. Keadaan makin
meruncing dan akhirnya pecah menjadi perang terbuka. Dalam peperangan tersebut,
Belanda sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar sehingga Belanda
memperalat Aru Palaka (Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.
Peperangan
demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa,
membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap
perekonomian
Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng
Somba Opu, keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya
mengalami kemunduran.
h.
Kerajaan Ternate
Kerajaan
Ternate berdiri pada abad ke-13, ibu kotanya terletak di Sampalu (Pulau
Ternate). Selain Kerajaan Ternate di Maluku, juga telah berdiri kerajaan-kerajaan
lain, yaitu Jaelolo, Tidore, Bacan, dan
Obi. Di antara kerajaan-kerajaan itu, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan
Ternate banyak menghasilkan rempah-rempah sehingga Ternate banyak dikunjungi
oleh pedagang-pedagang dari Jawa, Melayu, Cina, dan Arab. Selain didatangi para
pedagang, Ternate juga memiliki kapal-kapal dagang yang sering berlayar ke
daerah-daerah lain.
Menurut
catatan orang Portugis, raja di Maluku yang mula-mula memeluk agama Islam
adalah Raja Ternate, yaitu Gapi Baguna atau Sultan Marhum yang masuk Islam
karena menerima pengaruh dakwah dari Datuk Maulana Husin. Ia memerintah tahun
1465-1485 M. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya, Zainal Abidin. Pada
tahun 1495 M, Zainal Abidin mewakilkan pemerintahannya kepada keluarganya
karena ia memperdalam pengetahuan agama Islam kepada Sunan Giri dan kemudian ke
Malaka. Setelah kembali ke Ternate, Zainal Abidin sangat giat menyebarkan agama
Islam ke pulaupulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filipina Selatan.
Zainal
Abidin hanya memerintah sampai tahun 1500 M. Secara berturut-turut yang
kemudian memerintah di Ternate adalah Sultan Sirullah, Sultan Khairun, dan
Sultan Baabullah. Sejak pemerintahan Sultan Khairun, di Maluku telah
berdatangan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Di antara mereka, terjadi
persaingan yang ketat sehingga akhimya terjadi konflik. Bangsa Portugis
berhasil mendirikan benteng di Ternate, yaitu Benteng Sao Paulo dengan dalih
bahwa benteng tersebut dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore
yang bersekutu dengan Spanyol. Namun, lambat laun, bangsa Portugis melakukan
tindakan-tindakan yang menimbulkan kebencian rakyat Ternate. Misalnya,
melakukan kegiatan monopoli perdagangan, bersikap angkuh dan kasar, serta ikut
campur masalah intern Kesultanan Ternate.
Penguasa
Ternate yang menentang Portugis adalah Sultan Khairun yang memerintah pada
tahun 1550 M sampai 1570 M Ia secara tegas menolak kehadiran para misionaris
Portugis di Ternate. Hal itu membuat Portugis khawatir akan terusir dari bumi
Ternate sehingga dengan dalih mengadakan perjanjian perdamaian, Portugis di
bawah pimpinan De Mesqiuta, membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570 M. Rakyat
Ternate di bawah pimpinan putra Sultan Khairun, yaitu Sultan Baabullah,
akhirnya mengangkat senjata melawan bangsa Portugis. Setelah benteng Portugis
dikepung selama lima tahun, pada tahun 1575 M, Sultan Baabullah berhasil
mengusir Portugis dari Ternate.
Di
bawah pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mencapai masa
kejayaannya. Wilayah dan pengaruhnya sangat luas meliputi daerah Mindanau
(Filipina), seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Karena wilayahnya
yang luas serta pelayaran dan perdagangannya yang maju, Sultan Baabullah
mendapat gelar Yang Dipertuan di 72 pulau. Untuk menjaga keamanan wilayahnya,
Ternate memiliki 100 kapal kora-kora. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga
tersebar sangat luas. Kerajaan Ternate telah berhasil membangun armada laut
yang cukup kuat sehingga mampu melindungi wilayahnya yang cukup luas tersebut.
Setelah
Sultan Baabullah wafat, Kerajaan Ternate mulai melemah. Pada tahun 1580 M.
Kerajaan Spanyol dan Portugal menyerang Ternate. Sultan Said Barakati berhasil
ditawan Spanyol dan dibuang ke Filipina. Kekalahan demi kekalahan yang dialami
memaksa Ternate meminta bantuan Belanda. Belanda bersedia membantu dengan syarat
VOC diberi hak monopoli perdagangan di Maluku. Akhirnya Kerajaan Ternate
berhasil mengalahkan Spanyol, tetapi dengan imbalan yang sangat mahal. Belanda
secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 M, Sultan
Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku. Pada tahun 1607 M pula,
Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama
mereka di Nusantara.
Makin
lama kekuasan dan pengaruh Belanda di Ternate semakin kuat. Bersamaan dengan
itu pula, terjadi pemberontakan dan konflik internal di Kerajaan Ternate
sehingga Kerajaan Ternate mulai melemah dan akhirnya runtuh.
i.
Kerajaan Tidore
Kerajaan
Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara. Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah
raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Syahadati alias
Muhammad Naqal yang naik tahtasekitar tahun 1081 M. Baru pada raja yang ke-9,
yaitu Cirililiati yang kembali ingin memeluk agama Islam, berkat dakwah Syekh
Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar kerajaan lainnya, ia
mendapat gelar Sultan Jamaluddin. Putra sulungnya juga masuk Islam karena
dakwah Syekh Mansur. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore sekitar tahun
1471 M. (menurut catatan Portugis). Setelah Ternate berhasil meluaskan
wilayahnya dan membentuk persekutuan yang disebut Uli Lima, Kerajaan Tidore
juga berhasil memperluas pengaruhnya ke Halmahera, Pulau Raja Ampat, Seram
Timur, dan Papua yang dipersatukan dalam persekutuan Uli Siwa. Demikian juga Kerajaan
Bacan dan Jailolo juga tenggelam dalam pengaruh Kerajaan Tidore.
Kerajaan
Tidore merupakan penghasil cengkih yang besar dan sangat laku di pasaran Eropa.
Sehingga Akibatnya banyak bangsa Eropa yang datang ke Tidore untuk mencari
cengkih, misalnya bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Pada
awalnya ,Kerajaan Ternate dan Tidore dapat hidup berdampingan dan tidak pernah terjadi
konflik. Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera
(Maluku Utara) adalah dua kerajaan yang memiliki peran penting dalam menghadapi
kekuatan-kekuatan asing yang ingin menguasai Maluku. Seiring berjalannya waktu,
kedua kerajaan ini justru bersaing memperebutkan kekuasaan politik di Maluku. Kerajaan
Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempahrempah, seperti pala dan
cengkih, sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Wilayah
Maluku bagian timur dan pantai-pantai Papua dikuasai oleh kerajaan Tidore,
sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan
sampai ke Flores dan Mindanao (Filipina) dikuasai oleh Kerajaan Ternate. Namun,
setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Maluku, mulailah terjadi pertentangan
karena Ternate dan Tidore bersaing menawarkan harga rempah-rempah, serta
pendirian benteng yang dihadiahkan kepada partner dagang sebagai penghargaan.
Pada
tahun 1512 M, bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Maluku. Portugis pada saat
itu memilih bersahabat dengan Ternate, sedangkan Spanyol yang datang kemudian
bersahabat dengan Sultan Tidore. Sejak saat itulah, benih-benih permusuhan
mulai timbul.
Pada
tahun 1529 M. Portugis yang dibantu oleh Ternate dan Bacan menyerang Tidore dan
Spanyol. Dalam peperangan ini, Portugis mengalami kemenangan sehingga Portugis
dapat menguasai perdagangan rempah-rempah di seluruh Maluku.
Setelah
menguasai Maluku, Portugis mulai melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap
rakyat Maluku. Kedua kerajaan tersebut akhirnya sadar bahwa keduanya harus
bersatu untuk mengusir penjajahan Portugis di Maluku. Berkat kerja sama kedua
kerajaan tersebut, akhirnya, Portugis mengalami kekalahan tahun 1575 M. Dan
menyingkir ke Ambon. Pada tahun 1605 M. Belanda berhasil mendesak Portugis di
Ambon dan menguasainya.
Kerajaan
Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku
(1789-1805 M), yaitu seorang penguasa yang berani dan cerdas. Pada tahun 1801
M, beliau menyerang Ternate sehingga Ternate dan Tidore berhasil dipersatukan.
Di samping itu, Sultan Nuku berhasil mengadu domba antara Belanda dan Inggris sehingga
Belanda dapat diusir dari Tidore. Setelah Belanda kalah serta terusir dari
Tidore dan Ternate, Inggris tidak mendapatkan apa-apa kecuali hubungan dagang
biasa. Sejak itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis,
Spanyol, dan Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Pelayaran dan perdagangan maju pesat sehingga waktu itu Maluku
mengalami zaman keemasan dan tidak terikat oleh bangsa mana pun. Wilayahnya cukup
luas, yaitu meliputi Seram, Halmahera, Kepulauan Kai, dan Papua. Pengganti
Sultan Nuku adalah adiknya sendiri, Zainal Abidin (1805-1810 M).
Kisah Teladan
Kisah Dakwah Uje
Ustaz
Jefri Al-Buchori lahir di Jakarta, anak ketiga dari pasangan Ismail Modal (alm)
dan Tatu Mulyana. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Pangeran Jayakarta di mana
lingkungan sekitarnya terdapat banyak bar dan diskotek. Jefri tidak pernah
merasakan kelas 4 sekolah dasar karena pada saat bersekolah di SD 07 Karang
Anyar, ia lompat kelas dari kelas 3 ke kelas 5. Sejak kecil, ia telah
menunjukkan ketertarikan pada mata pelajaran Agama dan kesenian. Setamat SD,
Jefri dan kedua kakaknya bersekolah di Pesantren modern di Daar el-Qolam
Gintung, Balaraja, Tangerang. Sejak kecil, Jefri telah menunjukkan bakat untuk
tampil dengan meraih prestasi MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) hingga tingkat
provinsi.
Uje,
demikian biasa Ustaz Jefri disapa, pernah berkisah bahwa masa mudanya kerap diidentikkan
dengan narkoba, disko, dan bermain bola bilyar. “Gue itu dulu dutanya setan di
dunia.” Selepas Madrasah (setingkat SMA), ia melanjutkan pada Akademi Broadcasting
di Rawamangun, Jakarta, namun tidak selesai kuliah dikarenakan lebih mementingkan
bermain bilyar.
Kariernya
di bidang dakwah dimulai pada tahun 2000 saat menggantikan kakaknya yang
menjadi imam di sebuah masjid di Singapura. Pekerjaan kakaknya untuk memberikan
khutbah di masjid-masjid dekat rumah di wilayah Pangeran Jayakarta, Jakarta
diberikan pada Uje. Pada satu kesempatan saat menjadi imam, jamaah masjid bubar
menolak dipimpin oleh tukang mabok.
Uje
sebagai pendakwah mulai dikenal orang secara luas pada tahun 2002 untuk ceramah
dan doa dalam berbagai acara di televisi. Dalam berdakwah, Uje berpakaian koko
yang modis menyesuaikan selera anak muda. Dengan gaya dakwahnya tersebut, Ustaz
Uje berhasil mengambil hati dan perhatian para kawula muda.
(Sumber: diolah dari Wikipedia)
Rangkuman
1.
Islam masuk di Nusantara melalui jalur perdagangan berlangsung dengan cara-cara
damai.
2.
Agama Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Namun, agama Islam mulai
menyebar sekitar abad ke-13 M.
3.
Menurut para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat
dibagi menjadi: teori Mekah, teori Gujarat, teori Persia, dan teori Cina.
4.
Kerajaan Samudra Pasai di Aceh merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.
5.
Proses penyebaran dan perkembangan agama dan kebudayaan Islam dilakukan
melalui: perdagangan, perkawinan, pendidikan, hubungan sosial, dan kesenian.
6.
Kerajaan Islam di Sumatra yaitu: Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh.
7.
Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Kerajaan Demak. Kerajaan Demak diteruskan
Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam.
8.
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam di Kalimantan.
9.
Kerajaan Islam di Sulawesi, yaitu Kerajaan Gowa-Tallo, dan di Maluku Utara terdapat
Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore.
Sumber : ( Buku PAI dan Budi Pekerti Kelas IX Revisi 2018 Kemendikbud )
0 comments:
Post a Comment