Pages

Tuesday, 13 April 2021

Menyuburkan Kebersamaan dengan Toleransi dan Menghargai Perbedaan

 

Download PAI Kelas 9 BAB 13

Cermatilah sebuah bangunan yang kokoh. Bangunan yang kokoh itu tersusun dan terbuat dari berbagai unsur yang berbeda. Ada batu, pasir, semen, besi, batu bata, genteng, cat, dan sebagainya.

Bayangkan jika bangunan itu dibangun hanya dari unsur batu. Bagaimana juga jika dibangun hanya dengan semen? Apa juga jadinya jika bangunan itu hanya terdiri atas pasir? Tentu bangunan itu tidak akan bisa berdiri dengan kokoh. Begitu juga dengan kehidupan ini. Seandainya kehidupan terdiri atas orang-orang yang sama, dengan ideide yang sama serta pendapat-pendapat yang sama pula, tentu hidup akan menjadi monoton dan membosankan. Untuk itulah, Allah Swt. menciptakan manusia dengan berbagai bentuk fisik dan karakter yang berbeda-beda.

Wahai anak-anak yang mencintai kedamaian dan keharmonisan, di antara kalian, pasti juga ada yang berbeda pendapat, mungkin juga kalian berasal dari suku yang berbeda, dan lain-lain. Namun demikian, berbagai perbedaan tersebut tidak boleh kalian jadikan sebagai alasan untuk bertikai. Lihatlah kerusuhan antarsuku di Ambon, pertikaian antaragama di Poso (Sulawesi Tengah), perkelahian antarpenggemar sepak bola, dan lain-lain. Pertikaian, kerusuhan dan perkelahian tersebut terjadi karena tidak adanya sikap toleransi dan menghargai perbedaan orang lain.

Padahal, akar masalah yang menjadi sumber perkelahian tersebut hanyalah sesuatu yang sangat sepele. Namun, karena tidak adanya toleransi dan menghargai perbedaan, perkara yang sepele tersebut dibesar-besarkan hingga menimbulkan masalah yang berkelanjutan. Jika sudah demikian, setanlah yang akan berbahagia. Setan akan menghasut kita agar terus bertikai. Akibatnya, persatuan kita lamakelamaan akan tergerogoti oleh berbagai pertikaian tersebut dan pada akhirnya nanti umatlah yang akan hancur.

Mutiara Khasanah Islam

1. Mari Membaca Q.S. al-Hujurat/49:13

Ayat-ayat berikut ini berisi pesan-pesan mulia terkait dengan keanekaragaman manusia yang Allah Swt. ciptakan dengan berbangsabangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Bacalah ayat yang mulia ini dengan tartil!

a. Q.S. al-Hujurat/49:13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)

2. Memahami Tajwid tentang Tanda Waqaf

Menurut bahasa, waqaf artinya berhenti/menahan. Menurut istilah ilmu tajwid, pengertian waqaf adalah memutuskan suara di akhir kata untuk bernapas sejenak dengan niat meneruskan bacaan selanjutnya.

Waqaf dibedakan menjadi 5 macam berikut ini.

a. Waqaf Lazim

Waqaf lazim artinya harus berhenti. Ketika kalian membaca al-Qur’ān kemudian menemukan waqaf lazim, itu artinya pada tempat yang terdapat tanda waqaf lazim tersebut harus berhenti (waqaf) untuk mengambil napas, baru kemudian melanjutkan bacaan. Waqaf lazim ini disebut juga waqaf taam (waqaf sempurna).

Tanda waqaf-nya adalah  م

Perhatikan contoh-contoh potongan ayat berikut yang di dalamnya

terdapat waqaf lazim.


Jika kamu menemukan tanda waqaf lazim semacam ini, bacaan harus dihentikan sejenak untuk mengambil napas, baru kemudian dilanjutkan lagi.

b. Waqaf Jaiz

Ketika membaca al-Qur’ān dan menemukan tanda waqaf jaiz, kalian boleh berhenti (waqaf) atau meneruskan bacaan (washal). Namun, ada yang diutamakan waqaf (berhenti) dan ada yang lebih diutamakan untuk washal (terus). Oleh karena itu, waqaf jaiz ini sendiri dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

1) Jaiz Kafi

Ketika pembaca al-Qur’ān dan menemukan waqaf Jaiz Kafi, ia boleh waqaf dan boleh washal (diteruskan), namun lebih diutamakan untuk waqaf (berhenti).

Tanda waqaf-nya adalah      قلى    

    

2) Jaiz Tasawi

Ketika pembaca al-Qur’ān menemukan waqaf (Jaiz tasawi), boleh waqaf (berhenti) maupun washal (diteruskan), hukumnya sama, tidak ada yang lebih utama.

Tanda waqaf-nya adalah ج 


3) Jaiz Hasan

Ketika pembaca al-Qur’ān menemukan waqaf Jaiz hasan maka ia boleh membaca waqaf (berhenti) maupun washal (diteruskan),  tetapi membaca washal lebih utama.

Tanda waqaf-nya adalah صلى 

c. Waqaf Muraqabah / Mu’anaqah

Apabila pembaca al-Qur’ān menemukan tanda waqaf muraqabah/ mu’anaqah, pembaca itu harus berhenti pada salah satu tanda waqafnya.

d. Waqaf Mamnu’

Waqaf mamnu’ maksudnya dilarang berhenti pada tempat yang terdapat tanda waqaf ini. Pada tempat tersebut, dilarang berhenti karena masih terdapat keterkaitan makna antara kalimat yang dibaca dan kalimat berikutnya, sehingga terjadi perubahan makna apabila terputus dalam membacanya.

Tanda waqaf-nya adalah لا     

e. Saktah

Apabila pembaca al-Qur’ān mendapati tanda waqaf saktah, ia harus berhenti sejenak, tetapi jangan mengambil napas.

Tanda waqaf-nya adalah  س    atau (سكته)

 Contoh :

3. Mari Belajar Mengartikan Q.S. al-Hujurat/49:13

Lafal

Arti

Lafal

Arti

يَا أَيُّهَا

Wahai

لِتَعَارَفُوا

agar kamu saling

mengenal

النَّاسُ

Manusia

إِنَّ

Sesungguhnya

إِنَّا

Sungguh

أَكْرَمَكُمْ

yang paling mulia di

antara kamu

خَلَقْنَاكُمْ

Kami telah menciptakan kamu

عِنْدَ

di sisi

مِنْ

dari

اللَّهِ

Allah

ذَكَرٍ

Seorang laki-laki

أَتْقَاكُمْ

ialah orang yang

paling bertakwa

وَأُنْثَى

Dan seorang

perempuan

إِنَّ

Sungguh

وَجَعَلْنَاكُمْ

kemudian Kami

jadikan kamu

اللَّهَ

Allah

شُعُوبًا

Berbangsa-bangsa

عَلِيمٌ

Maha

Mengetahui

وَقَبَائِلَ

Dan bersuku-suku

خَبِيرٌ

Mahateliti

1) Terjemah:

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

4. Memahami Kandungan Q.S. al-Hujurat/49:13

Q.S. al-Hujurat/13 ini mengandung pesan yang luar biasa, yakni kita diajarkan untuk tidak membeda-bedakan orang lain berdasarkan kekayaan, warna kulit, ras, suku bangsa, dan perbedaan fisik lainnya. Akan tetapi, kita diajarkan untuk menjadi orang yang mulia di sisi Allah berdasarkan ketakwaan kita. Kita juga diperintahkan untuk saling mengenal berbagai jenis dan karakter manusia agar mampu memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Allah Swt. tidak pernah membeda-bedakan manusia dari bentuk tubuh ataupun harta bendanya, namun Allah Swt. melihat manusia dari amal shaleh dan kebersihan hatinya. Manusia yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah manusia yang paling banyak amal salehnya dan bersih hatinya.

Rasulullah saw. berpesan agar kita senantiasa bertoleransi dan menghargai perbedaan, seperti yang disabdakan dalam hadis berikut ini:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَفَعَهُ اِلَى النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَمْوَا لِكُمْ وَلٰكِنْ اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَى اَعْمَالِكُمْ وَقُلُوْبِكُمْ (رواه ابن ماجه)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang dimarfu’kan kepada Nabi saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia hanya memandang kepada amal dan hati kalian.” (H.R. Ibnu Majah)

Sebagai seorang mukmin, kita hendaknya menghargai perbedaan di antara kaum mukminin sebab sesama mukmin adalah bersaudara, yang satu sama lain saling menguatkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw.:

عَنْ اَبِيْ مُوْسَى الْاَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه الترمذي)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lainnya.” (H.R. at-Tirmizi)

Setelah membaca penjelasan ini, apakah kamu siap untuk menjadi orang yang penuh dengan toleransi dan mau menghargai perbedaan? Untuk menjadi hamba Allah Swt. yang seperti itu, tidaklah sulit, hanya perlu berlatih. Latihan yang paling sederhana adalah memulai dari lingkungan sekitar, misalnya dalam keluarga mau menghargai kesukaan anggota keluarga yang lain, dan di sekolah seperti mau menghargai pendapat teman-teman saat berdiskusi kelompok. Hal-hal seperti ini mungkin bagi kamu terlihat sepele, akan tetapi apabila kamu biasakan dalam kehidupan sehari-hari, kamu akan lebih mudah untuk bertoleransi dan menghargai perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika diri kita sudah terbiasa bertoleransi dan menghargai perbedaan, kehidupan akan menjadi lebih tenang dan penuh kedamaian.

Umar bin Khattab dan Seekor Burung Pipit

Pada suatu hari, Umar bin Khattab melihat sekelompok anak kecil bermain dengan mengikat seekor burung pipit. Tampak burung kecil itu kelelahan dan tersiksa. Melihat peristiwa itu, Umar merasa iba kepada burung tersebut. Maka, dengan serta merta, ia merajuk anak-anak itu dan membeli burung pipit tersebut. Setelah itu, Umar melepas burung tersebut untuk bebas terbang di udara.

Setelah Umar meninggal dunia, para ulama di kota itu bermimpi bertemu dengannya. Mereka menanyakan kepada beliau tentang keadaannya.

Mereka bertanya, “Wahai Umar, apa yang telah Allah lakukan kepadamu?”

Umar menjawab, “Allah telah mengampuniku dan membalas amal perbuatanku.”

Mereka bertanya kembali, “Ceritakan kepada kami perbuatan apa yang telah menjadikan Allah mengampunimu?”

Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah menyayangiku karena aku pernah menyayangi seekor burung pipit.”

Sumber: Oase Spiritual

Kisah Teladan

Sengketa Baju Besi Milik Ali bin Abi Talib

Ali bin Abi Talib sangat terkenal sebagai seorang khalifah yang adil. Ia tak mau menang sendiri terhadap rakyatnya dalam persoalan apa pun. Setiap urusan selalu diupayakan untuk diselesaikan dengan melalui jalur hukum, sesuai dengan aturan permainan yang sebenarnya.

Pada suatu ketika, terjadi persengketaan antara sang Khalifah dan seorang Nasrani mengenai baju besi. Ceritanya Sayyidina Ali melihat baju besinya berada di tangan seorang Nasrani yang kedudukannya adalah rakyat biasa. Seorang Nasrani itu kemudian mengadukan sengketanya dengan Sayyidina Ali ke pengadilan. Pada saat itu, hakim yang mengadili bernama Syuraikh.

Akhirnya, persidangan pun digelar. Ketika persidangan sudah dimulai, Sayyidina Ali diberi kesempatan untuk berbicara, “Baju besi ini adalah milikku. Aku belum pernah menjualnya atau memberikannya kepada siapa pun.”

Mendengar pengakuan sang khalifah, hakim pun meminta keterangan dari pihak tertuduh. Orang Nasrani itu berkata, “Baju besi ini adalah milikku sendiri. Apa yang diutarakan itu tidak benar.”

Hakim bertanya kepada Sayyidina Ali, “Adakah bukti nyata atau saksi mata yang menguatkan pengakuanmu?”

Sayyidina Ali menjawab, “Benarlah hakim, aku memang tidak punya bukti maupun saksi dalam hal ini.”

Karena tidak ada bukti maupun saksi, hakim menetapkan keputusannya bahwa baju besi tersebut menjadi hak orang Nasrani tersebut.

Seusai sidang, orang Nasrani itu melangkah meninggalkan ruang sidang. Sayyidina Ali hanya bisa memandang baju besi kesayangannya. Namun, baru beberapa langkah berlalu, orang Nasrani itu membalikkan badan lalu berkata, “Saya bersaksi bahwa inilah akhlak mulia yang diwariskan para nabi. Seorang Khalifah membawaku ke majlis hakim untuk menyelesaikan perkara.” Selanjutnya, dia berkata, “Demi Tuhan, sebenarnya baju besi ini adalah milikmu wahai Khalifah.”

Setelah peristiwa itu, orang Nasrani tersebut menjadi muallaf yang sangat taat dan menyerahkan jiwa dan raganya untuk kejayaan Islam.

Sumber: Seri Perkaya Hati

Rangkuman

1. Menurut bahasa, waqaf artinya berhenti atau menahan.

2. Waqaf dibedakan menjadi 5 macam, yaitu waqaf lazim, waqaf jaiz, waqaf muraqabah / mu’anaqah, waqaf mamnu’, dan saktah.

3. Waqaf lazim artinya harus berhenti.

4. Waqaf jaiz artinya boleh berhenti (waqaf) atau meneruskan bacaan (wa¡al).

5. Waqaf muraqabah/mu’anaqah artinya harus berhenti pada salah satu tanda waqafnya.

6. Apabila pembaca al-Qur’ān mendapati tanda waqaf sakta, ia harus berhenti sejenak, tanpa mengambil napas.

7. Q.S. al-Hujurat/49:13 menjelaskan bahwa Allah Swt menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.

8. Kemuliaan seseorang diukur dari ketakwaannya kepada Allah Swt.

Sumber : ( Buku PAI dan Budi Pekerti Kelas IX Revisi 2018 Kemendikbud )


0 comments:

Post a Comment