Tuesday, 13 April 2021
Menyuburkan Kebersamaan dengan Toleransi dan Menghargai Perbedaan
Cermatilah
sebuah bangunan yang kokoh. Bangunan yang kokoh itu tersusun dan terbuat dari
berbagai unsur yang berbeda. Ada batu, pasir, semen, besi, batu bata, genteng,
cat, dan sebagainya.
Bayangkan
jika bangunan itu dibangun hanya dari unsur batu. Bagaimana juga jika dibangun
hanya dengan semen? Apa juga jadinya jika bangunan itu hanya terdiri atas
pasir? Tentu bangunan itu tidak akan bisa berdiri dengan kokoh. Begitu juga
dengan kehidupan ini. Seandainya kehidupan terdiri atas orang-orang yang sama,
dengan ideide yang sama serta pendapat-pendapat yang sama pula, tentu hidup akan
menjadi monoton dan membosankan. Untuk itulah, Allah Swt. menciptakan manusia
dengan berbagai bentuk fisik dan karakter yang berbeda-beda.
Wahai
anak-anak yang mencintai kedamaian dan keharmonisan, di antara kalian, pasti
juga ada yang berbeda pendapat, mungkin juga kalian berasal dari suku yang
berbeda, dan lain-lain. Namun demikian, berbagai perbedaan tersebut tidak boleh
kalian jadikan sebagai alasan untuk bertikai. Lihatlah kerusuhan antarsuku di
Ambon, pertikaian antaragama di Poso (Sulawesi Tengah), perkelahian
antarpenggemar sepak bola, dan lain-lain. Pertikaian, kerusuhan dan perkelahian
tersebut terjadi karena tidak adanya sikap toleransi dan menghargai perbedaan orang
lain.
Padahal,
akar masalah yang menjadi sumber perkelahian tersebut hanyalah sesuatu yang
sangat sepele. Namun, karena tidak adanya toleransi dan menghargai perbedaan,
perkara yang sepele tersebut dibesar-besarkan hingga menimbulkan masalah yang
berkelanjutan. Jika sudah demikian, setanlah yang akan berbahagia. Setan akan menghasut
kita agar terus bertikai. Akibatnya, persatuan kita lamakelamaan akan
tergerogoti oleh berbagai pertikaian tersebut dan pada akhirnya nanti umatlah
yang akan hancur.
Mutiara Khasanah Islam
1. Mari Membaca Q.S. al-Hujurat/49:13
Ayat-ayat
berikut ini berisi pesan-pesan mulia terkait dengan keanekaragaman manusia yang
Allah Swt. ciptakan dengan berbangsabangsa dan bersuku-suku agar saling
mengenal. Bacalah ayat yang mulia ini dengan tartil!
a.
Q.S. al-Hujurat/49:13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)
2.
Memahami Tajwid tentang
Tanda Waqaf
Menurut
bahasa, waqaf artinya
berhenti/menahan. Menurut istilah ilmu tajwid, pengertian waqaf
adalah memutuskan suara di akhir kata untuk bernapas sejenak
dengan niat meneruskan bacaan selanjutnya.
Waqaf dibedakan menjadi 5 macam berikut ini.
a.
Waqaf Lazim
Waqaf lazim artinya harus berhenti. Ketika
kalian membaca al-Qur’ān kemudian menemukan waqaf lazim, itu artinya pada
tempat yang terdapat tanda waqaf lazim
tersebut harus berhenti (waqaf) untuk
mengambil napas, baru kemudian melanjutkan bacaan. Waqaf lazim ini disebut juga waqaf taam (waqaf
sempurna).
Tanda
waqaf-nya
adalah م
Perhatikan
contoh-contoh potongan ayat berikut yang di dalamnya
terdapat waqaf lazim.
Jika kamu menemukan tanda waqaf lazim semacam ini, bacaan harus dihentikan sejenak untuk mengambil napas, baru kemudian dilanjutkan lagi.
b.
Waqaf Jaiz
Ketika
membaca al-Qur’ān dan menemukan tanda waqaf
jaiz, kalian
boleh berhenti (waqaf) atau meneruskan
bacaan (washal). Namun, ada yang
diutamakan waqaf (berhenti)
dan ada yang lebih diutamakan untuk washal (terus). Oleh karena
itu, waqaf jaiz
ini sendiri dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1)
Jaiz
Kafi
Ketika
pembaca al-Qur’ān dan menemukan waqaf Jaiz Kafi, ia boleh waqaf dan boleh washal (diteruskan), namun
lebih diutamakan untuk waqaf (berhenti).
Tanda
waqaf-nya
adalah
قلى
2)
Jaiz Tasawi
Ketika
pembaca al-Qur’ān menemukan
waqaf (Jaiz
tasawi), boleh waqaf (berhenti) maupun washal (diteruskan),
hukumnya sama, tidak ada yang lebih utama.
Tanda
waqaf-nya
adalah ج
3) Jaiz Hasan
Ketika
pembaca al-Qur’ān menemukan
waqaf Jaiz
hasan maka ia boleh membaca waqaf
(berhenti) maupun washal (diteruskan), tetapi membaca washal
lebih utama.
Tanda
waqaf-nya
adalah صلى
c. Waqaf Muraqabah / Mu’anaqah
Apabila
pembaca al-Qur’ān menemukan
tanda waqaf muraqabah/ mu’anaqah,
pembaca itu harus berhenti pada salah satu tanda waqafnya.
Waqaf
mamnu’ maksudnya dilarang berhenti pada tempat yang terdapat tanda waqaf ini. Pada tempat tersebut, dilarang
berhenti karena masih terdapat keterkaitan makna antara kalimat yang dibaca dan
kalimat berikutnya, sehingga terjadi perubahan makna apabila terputus dalam
membacanya.
Tanda waqaf-nya
adalah لا
e. Saktah
Apabila
pembaca al-Qur’ān mendapati
tanda waqaf saktah,
ia harus berhenti sejenak, tetapi jangan mengambil napas.
Tanda waqaf-nya
adalah س atau (سكته)
Contoh :
3. Mari Belajar Mengartikan Q.S.
al-Hujurat/49:13
Lafal |
Arti |
Lafal |
Arti |
يَا أَيُّهَا |
Wahai |
لِتَعَارَفُوا |
agar
kamu saling mengenal |
النَّاسُ |
Manusia |
إِنَّ |
Sesungguhnya |
إِنَّا |
Sungguh |
أَكْرَمَكُمْ |
yang
paling mulia di antara
kamu |
خَلَقْنَاكُمْ |
Kami
telah menciptakan kamu |
عِنْدَ |
di
sisi |
مِنْ |
dari |
اللَّهِ |
Allah |
ذَكَرٍ |
Seorang
laki-laki |
أَتْقَاكُمْ |
ialah
orang yang paling
bertakwa |
وَأُنْثَى |
Dan
seorang perempuan |
إِنَّ |
Sungguh |
وَجَعَلْنَاكُمْ |
kemudian
Kami jadikan
kamu |
اللَّهَ |
Allah |
شُعُوبًا |
Berbangsa-bangsa |
عَلِيمٌ |
Maha Mengetahui |
وَقَبَائِلَ |
Dan
bersuku-suku |
خَبِيرٌ |
Mahateliti |
1)
Terjemah:
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
4. Memahami Kandungan Q.S. al-Hujurat/49:13
Q.S. al-Hujurat/13 ini mengandung pesan
yang luar biasa, yakni kita diajarkan untuk tidak membeda-bedakan orang lain
berdasarkan kekayaan, warna kulit, ras, suku bangsa, dan perbedaan fisik
lainnya. Akan tetapi, kita diajarkan untuk menjadi orang yang mulia di sisi
Allah berdasarkan ketakwaan kita. Kita juga diperintahkan untuk saling mengenal
berbagai jenis dan karakter manusia agar mampu memahami kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Allah
Swt. tidak pernah membeda-bedakan manusia dari bentuk tubuh ataupun harta
bendanya, namun Allah Swt. melihat manusia dari amal shaleh dan kebersihan
hatinya. Manusia yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah manusia yang
paling banyak amal salehnya dan bersih hatinya.
Rasulullah
saw. berpesan agar kita senantiasa bertoleransi dan menghargai perbedaan,
seperti yang disabdakan dalam hadis berikut ini:
عَنْ
اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَفَعَهُ اِلَى النَّبِيِّ صَلَى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَمْوَا لِكُمْ وَلٰكِنْ
اِنَّمَا يَنْظُرُ اِلَى اَعْمَالِكُمْ وَقُلُوْبِكُمْ (رواه ابن ماجه)
Artinya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang dimarfu’kan kepada Nabi
saw., beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat
kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia hanya memandang
kepada amal dan hati kalian.” (H.R. Ibnu Majah)
Sebagai
seorang mukmin, kita hendaknya menghargai perbedaan di antara kaum mukminin sebab
sesama mukmin adalah bersaudara, yang satu sama lain saling menguatkan. Hal ini
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw.:
عَنْ
اَبِيْ مُوْسَى الْاَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا (رواه الترمذي)
Artinya:
“Diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari ia berkata; Rasulullah saw.
bersabda: “Antara seorang mukmin dengan mukmin yang
lainnya adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan
satu sama lainnya.” (H.R. at-Tirmizi)
Setelah
membaca penjelasan ini, apakah kamu siap untuk menjadi orang yang penuh dengan
toleransi dan mau menghargai perbedaan? Untuk menjadi hamba Allah Swt. yang
seperti itu, tidaklah sulit, hanya perlu berlatih. Latihan yang paling
sederhana adalah memulai dari lingkungan sekitar, misalnya dalam keluarga mau
menghargai kesukaan anggota keluarga yang lain, dan di sekolah seperti mau
menghargai pendapat teman-teman saat berdiskusi kelompok. Hal-hal seperti ini mungkin
bagi kamu terlihat sepele, akan tetapi apabila kamu biasakan dalam kehidupan
sehari-hari, kamu akan lebih mudah untuk bertoleransi dan menghargai perbedaan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika diri kita sudah
terbiasa bertoleransi dan menghargai perbedaan, kehidupan akan menjadi lebih
tenang dan penuh kedamaian.
Umar bin Khattab dan Seekor Burung Pipit
Pada
suatu hari, Umar bin Khattab melihat sekelompok anak kecil bermain dengan
mengikat seekor burung pipit. Tampak burung kecil itu kelelahan dan tersiksa.
Melihat peristiwa itu, Umar merasa iba kepada burung tersebut. Maka, dengan
serta merta, ia merajuk anak-anak itu dan membeli burung pipit tersebut.
Setelah itu, Umar melepas burung tersebut untuk bebas terbang di udara.
Setelah
Umar meninggal dunia, para ulama di kota itu bermimpi bertemu dengannya. Mereka
menanyakan kepada beliau tentang keadaannya.
Mereka
bertanya, “Wahai Umar, apa yang telah Allah lakukan kepadamu?”
Umar
menjawab, “Allah telah mengampuniku dan membalas amal perbuatanku.”
Mereka
bertanya kembali, “Ceritakan kepada kami perbuatan apa yang telah menjadikan
Allah mengampunimu?”
Umar
menjawab, “Sesungguhnya Allah menyayangiku karena aku pernah menyayangi seekor
burung pipit.”
Sumber: Oase Spiritual
Kisah Teladan
Sengketa Baju Besi Milik Ali bin Abi Talib
Ali
bin Abi Talib sangat terkenal sebagai seorang khalifah yang adil. Ia tak mau
menang sendiri terhadap rakyatnya dalam persoalan apa pun. Setiap urusan selalu
diupayakan untuk diselesaikan dengan melalui jalur hukum, sesuai dengan aturan
permainan yang sebenarnya.
Pada
suatu ketika, terjadi persengketaan antara sang Khalifah dan seorang Nasrani
mengenai baju besi. Ceritanya Sayyidina Ali melihat baju besinya berada di
tangan seorang Nasrani yang kedudukannya adalah rakyat biasa. Seorang Nasrani
itu kemudian mengadukan sengketanya dengan Sayyidina Ali ke pengadilan. Pada
saat itu, hakim yang mengadili bernama Syuraikh.
Akhirnya,
persidangan pun digelar. Ketika persidangan sudah dimulai, Sayyidina Ali diberi
kesempatan untuk berbicara, “Baju besi ini adalah milikku. Aku belum pernah
menjualnya atau memberikannya kepada siapa pun.”
Mendengar
pengakuan sang khalifah, hakim pun meminta keterangan dari pihak tertuduh.
Orang Nasrani itu berkata, “Baju besi ini adalah milikku sendiri. Apa yang
diutarakan itu tidak benar.”
Hakim
bertanya kepada Sayyidina Ali, “Adakah bukti nyata atau saksi mata yang
menguatkan pengakuanmu?”
Sayyidina
Ali menjawab, “Benarlah hakim, aku memang tidak punya bukti maupun saksi dalam
hal ini.”
Karena
tidak ada bukti maupun saksi, hakim menetapkan keputusannya bahwa baju besi
tersebut menjadi hak orang Nasrani tersebut.
Seusai
sidang, orang Nasrani itu melangkah meninggalkan ruang sidang. Sayyidina Ali
hanya bisa memandang baju besi kesayangannya. Namun, baru beberapa langkah
berlalu, orang Nasrani itu membalikkan badan lalu berkata, “Saya bersaksi bahwa
inilah akhlak mulia yang diwariskan para nabi. Seorang Khalifah membawaku ke
majlis hakim untuk menyelesaikan perkara.” Selanjutnya, dia berkata, “Demi
Tuhan, sebenarnya baju besi ini adalah milikmu wahai Khalifah.”
Setelah
peristiwa itu, orang Nasrani tersebut menjadi muallaf yang sangat taat dan
menyerahkan jiwa dan raganya untuk kejayaan Islam.
Sumber:
Seri Perkaya Hati
Rangkuman
1.
Menurut bahasa, waqaf artinya berhenti atau
menahan.
2.
Waqaf dibedakan menjadi 5 macam, yaitu waqaf
lazim, waqaf jaiz, waqaf
muraqabah / mu’anaqah, waqaf mamnu’, dan
saktah.
3.
Waqaf lazim artinya harus berhenti.
4.
Waqaf jaiz artinya boleh berhenti (waqaf) atau meneruskan
bacaan (wa¡al).
5.
Waqaf muraqabah/mu’anaqah artinya harus
berhenti pada salah satu tanda waqafnya.
6.
Apabila pembaca al-Qur’ān mendapati
tanda waqaf sakta,
ia harus berhenti sejenak, tanpa mengambil napas.
7.
Q.S. al-Hujurat/49:13 menjelaskan
bahwa Allah Swt menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
saling mengenal.
8.
Kemuliaan seseorang diukur dari ketakwaannya kepada Allah Swt.
Sumber
: ( Buku PAI dan Budi Pekerti Kelas IX Revisi 2018 Kemendikbud )